Tak lengkap berkunjung ke Makassar jika tak ke Pantai Losari, begitulah hal jamak yang dikenal selama ini bagi orang yang berkunjung ke kota yang juga terkenal dengan sebutan Kota Anging Mamiri. Pantai yang tepat menghadap ke Selat Makassar ini memang terkenal dengan keindahan sunsetnya yang mempesona. Barisan café, restoran dan hotel mulai dari kelas melati hingga berbintang berjejer. melengkapi pantai yang telah menjadi ikon kota Daeng (abang/kakak) ini, begitu Kota Makassar biasa pula di sebut.
Sejak beberapa tahun lalu, pemerintah kota didukung pemerintah pusat mulai membenahi kawasan Losari. Melalui proyek revitalisasi yang menelan biaya hingga mendekati angka 40 milyar rupiah, wajah Losari di poles dan dipercantik. Barisan pedagang makanan yang berjejer di sepanjang tanggul di pindahkan ke sebuah kawasan di daerah Metro Tanjung Bunga. Hektaran kawasan pantai di reklamasi dan dibuat pelataran yang dilengkapi dengan berbagai patung dan ornament ciri khas Sulawesi Selatan. Diantaranya di buat pelataran yang berisikan nama 4 suku yang ada di Sulawesi Selatan yakni Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Begitu pula dengan miniatur rumah adat, patung pahlawan, phinisi dan becak yang juga merupakan benda khas Sulawesi Selatan. Sebuah dermaga terapung juga di buat untuk memudahkan masyarakat yang ingin menikmati olah raga air ataupun rekreasi menggunakan perahu ataupun bebek kayuh untuk menyaksikan panorama Kota Makassar dari laut. Kehadiran sebuah masjid terapung semakin menambah indahnya panorama Pantai Losari khususnya di senja dan malam hari.
Saat berkunjung ke Pantai Losari dalam rangkaian acara mudik lebaran tahun ini beberapa hari lalu, aku cukup surprise dengan situasi terakhir di sana. Sungguh di luar dugaan, kondisi Pantai Losari sudah sedemikian ramai dan… Jorok! Puluhan bahkan mungkin ratusan Pedagang Kaki Lima (PKL) mendominasi pelataran, bahkan lebih mirip pasar malam. Bukan hanya pedagang makanan dan minuman ringan, tapi juga pedagang baju, kacamata, dan kebutuhan lainnya. Bahkan, seorang penjual obat keliling menggelar ‘pertunjukannya’ lengkap dengan sound system dan tentunya trik-trik ala ‘pabbalu pabbura’ (penjual obat) cukup menyedot perhatian pengunjung. Ironisnya, penjual obat dengan sound system yang lumayan keras itu menggelar dagangannya di lokasi yang tak jauh dari rumah jabatan Walikota Makassar dan RS. Stella Maris.
Meskipun tempat parkir mobil dan motor sudah tersedia namun masih terlihat beberapa motor terparkir di atas pelataran. Sampah bertebaran dimana-mana sesekali tergilas dengan otoped ataupun sepeda dan mobil mainan yang dikendarai anak-anak dan jumlahnya mencapai ratusan. Petugas kebersihan dan tempat sampah memang tersedia namun jumlahnya sangat tidak memadai dengan luasnya kawasan itu.
Saat bermaksud menuruni tangga di belakang tulisan besar PANTAI LOSARI menuju ke dermaga terapung, sebuah kejutan lain yang sungguh membuat aku terkejut sekaligus mau, maaf, muntah! Bau pesing menyengat pertanda tempat itu sering dijadikan ‘toilet’! Tembok yang memagari pantai juga tak urung menjadi korban vandalisme pengunjung. Beberapa tanaman yang terlihat di beberapa titik terlihat kering dan tak terawat.
Bukan itu saja, saat hendak pulang, lagi-lagi aku masih dikejutkan dengan barisan penjual makanan khas makassar kembali berjejer di sepanjang pantai. Pedagang makanan yang dulunya sudah pernah di relokasi ke tempat lain, sepertinya sudah kembali ‘mudik’ ke tempatnya semula. Tentunya kehadiran mereka kembali ‘memamerkan’ sampah-sampah begitu juga peralatan makan kotor yang tergeletak begitu saja di atas trotoar.
Sungguh sangat disayangkan, tempat yang tadinya diharapkan menjadi area publik ‘vital’ dengan proyek ‘revitalisasi’ serta gelontoran dana milyaran rupiah hasilnya seperti itu saat ini. Meskipun telah terlihat perubahan secara fisik dan bisa dinikmati oleh masyarakat tapi sepertinya hal itu perlu di sempurnakan kembali. Selain merubah penampilan fisik, tindakan pemeliharaan berkesinambungan yang memadai disertai penegakan aturan sepertinya sangat diperlukan di kawasan Pantai Losari saat ini. Sebuah jargon atau slogan “Makassarta’ Tak Rantasa’(Jorok/semrawut)” hanya akan menjadi sebuah slogan yang nyaris ‘useless’ dan mungkin hanya akan menjadi bahan tertawaan bagi pengunjung yang berasal dari luar kota yang sarat dengan sejarah itu. Sangat disayangkan pula keindahan panorama sunset yang mempesona tak dibarengi dengan kenyamanan fasilitas pendukung yang selayaknya bisa membuat pengunjung betah berlama-lama, bukan hanya sekedar berfoto dan pergi karena tak betah dengan pemandangan sampah bertebaran dan bau pesing! Kesadaran masyarakat dan pengunjung untuk memelihara fasilitas yang dibangun dari pajak yang mereka bayar juga dituntut untuk mewujudkan Makassarta' yang (sungguh-sungguh) Tidak Rantasa'!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H