Salah satu destinasi wisata di Bandung Selatan adalah Pangalengan. Pangalengan sangat identik dengan perkebunan tehnya, diantaranya Perkebunan Teh Malabar. Perkebunan ini sangat menarik dan unik karena dibuka oleh seorang pria asal Belanda, Karel Albert Rudolf(K.A.R) Bosscha pada tahun 1896.
Mengunjungi tempat ini pastilah wisatawan baik lokal atau manca negara bakalan menuju ke Makam Bosscha , dan atau Villa Bosscha, tempat tinggal K.A.R. Bosscha semasa hidup.
Tidak banyak yang tahu bahwa kalau kita terus melanjutkan perjalanan ke arah bawah, akan terdapat perkampungan masyarakat, Kampung Malabar, Kampung Banjarsari, dan Kampung Malabar Asri.
Masyarakat di tiga kampung tersebut sebagian besar adalah karyawan Perkebunan Teh Malabar. Rumah-rumah di perkampungan tersebut sangatlah unik, dimana rumah-rumah yang berada di tepat di pinggir jalan dibangun secara semi permanen dan di belakangnya berjajar rumah-rumah panggung.
Dahulu pengisian rumah-rumah ini tidaklah sembarangan. Rumah yang di depan hanya boleh diisi karyawan dengan jabatan mandor dan rumah-rumah panggung dihuni oleh karyawan yang notabenenya adalah anakbuahnya.
Ada juga rumah-rumah yang dibangun secara permanen di antara rumah semi permanen. Konon rumah itu dipakai oleh Mandor Besar, jabatan satu tingkat di atas Mandor.
Sedikit menjauh dari perkampungan, terdapat rumah permanen yang terbilang megah,rumah tersebut diperuntukkan untuk Sinder, atau kepala bagian perkebunan, sebuah jabatan di atas Mandor Besar.
Dari sekian banyak rumah yang berada di kampung tersebut, ada sebuah rumah panggung yang menarik. Masyarakat di situ menamakannya Rumah Hitam.
Rumah ini diyakini sebagai bangunan tertua di Kampung Malabar yakni dibangun bersamaan dengan pembukaan lahan perkebunan teh dan pembangunan Villa Malabar pada 1896. Kenapa dinamakan Rumah Hitam?
Dari luar memang terlihat rumah panggung ini berwarna hitam, sedang rumah-rumah lainnya dicat dengan warna sebagian besar putih. Warna hitam itu sendiri terbuat dari campuran aspal dan kerosin. Masyarakat di kampung ini menamainya Getah Surinem.
Pelaburan dengan getah ini dimaksudkan agar bangunan lebih tahan lama dan kuat dari serangan hama rayap dan cuaca, demikian menurut penuturan Wawan Herdiana, keturunan keempat dari karyawan pertama yang pernah bekerja bersama-sama K.A.R. Bosscha.