Lihat ke Halaman Asli

Rahmad Alam

Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Peran Psikologi dalam Perkembangan Konstitusi di Indonesia agar Hukum Lebih Memanusiakan Manusia

Diperbarui: 11 Juli 2023   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diolah dari Pixabay.com

Sudah menjadi harapan kita agar hukum dapat memanusiakan manusia. Namun terlebih dahulu semestinya kita lebih tahu bagaimana manusia itu dan lebih dalam lagi menelaah jiwa manusia itu. Setelah memahami inti manusia, yakni jiwanya maka kita dapat merancang hukum bukan hanya untuk menindas namun juga menjadikan manusia sebagai manusia.

Psikologi sebagai ilmu jiwa jelas memiliki peran yang sangat penting bagi terbentuknya hukum yang memanusiakan manusia ini. Bukan hanya pada bidang legal psychology dan psikologi forensik sebagai tombak psikologi di bidang hukum namun secara luas psikologi dapat memberikan sumbangsih bagi konstitusi di Indonesia.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang berperan aktif dalam menegakkan prinsip konstitusi di Indonesia seharusnya dapat menggandeng para pakar psikologi tidak hanya pakar hukum dalam meraih pendekatan hukum yang lebih manusiawi.

Lalu apa harapan bagi peran psikologi pada perkembangan konstitusi di Indonesia? Bagaimana psikologi dapat memanusiakan manusia? Simak ulasannya.

Hukum yang Tidak Mengekang Potensi Kepribadian

"Hukum adalah alat rekayasa sosial", begitu kata Henry Ward Beecher. Hukum dimaknai sebagai alat yang mengatur, memaksa, dan bahkan mengekang seseorang. Kita mesti tahu bahwa alasan hukum memperlakukan manusia demikian karena harus menjaga keadilan dan keamanan manusia tersebut.

Beberapa dari kita mesti setuju bahwa hukum adalah perwujudan kepentingan orang banyak. Namun hukum juga terkadang memukul rata semua orang dan memang benar adanya bahwa semua sama di mata hukum karena ilusi keadilan adalah melihat semua orang sama. Padahal sebenarnya setiap orang tidak sama dan unik.

Keadilan bukan berarti menyamaratakan semua manusia berikut juga kepribadiannya sehingga dia mesti di hukum sama. Akibat dari hukum yang terlalu kaku menyamaratakan inilah setiap potensi kepribadian yang muncul sebagai perilaku yang unik dipandang sebagai bentuk kriminal.

Terlebih dahulu kita harus tahu bahwa yang kita maksud adalah hukum-hukum yang secara langsung tidak mengambil hak seseorang tapi hukum ini merenggut hak si tertuduh atas dasar norma. Potensi kepribadian yang dimiliki oleh si tertuduh pada akhirnya tidak dapat dimaksimalkan dengan baik.

Dalam hal ini memang hukum dibentuk dari landasan yuridis yang didasarkan pada etika. Jika meminjam konsep dari Erich Fromm dalam buku Man for Himself-nya, terdapat dua jenis etika yaitu etika yang humanis dan etika yang otoriter. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline