Tidak terasa sudah dua tahun kita berdampingan dengan pandemi ini. Semenjak Covid-19 ini hadir di negeri kita tercinta, banyak kebiasaan-kebiasaan baru yang ada di kehidupan kita.
Dari yang tidak kita sukai seperti pembatasan wilayah yang kadang meregangkan jarak antara sanak keluarga dan orang yang kita cintai hingga kebiasaan mencuci tangan dan memakai masker.
Pandemi yang membuat kita merasa resah dan gelisah baik karena wabah itu sendiri maupun karena tekanan psikologis karena kesendirian juga membawa kebiasaan-kebiasaan baru yang mungkin menjadikan kita masyarakat yang lebih sehat dan higienis.
Penerapan protokol kesehatan serta memakai masker dan juga mencuci tangan dapat menjadi salah satu contohnya.
Namun akankah setelah pandemi ini kebiasaan sehat dan baik ini menjadi suatu kebiasaan yang melekat di masyarakat kita?, bisakah pula masyarakat di Indonesia ini menjadi masyarakat yang higienis layaknya warga negara Jepang atau Korea?.
Berikut saya akan sedikit menjabarkan bagaimana kebiasaan ini dapat menjadi kebiasaan permanen lewat paradigma psikologi behaviorisme.
Mengenal Sedikit Tentang Paradigma Behaviorisme
Behaviorisme pertama kali dipelopori oleh B.F. Skinner, yaitu seorang psikolog asal Amerika Serikat. Skinner beranggapan bahwa ilmu psikologi belum siap akan banyaknya unsur kepribadian dan juga seharusnya lebih fokus kepada data yang dapat diamati seperti perilaku.
Secara garis besar aliran psikologi satu ini bertumpu pada hasil eksperimen melalui pengamatan perilaku (behavior) dibandingkan berkutat pada unsur kepribadian didalam psikologi manusia layaknya aliran psikoanalisis.
Dalam eksperimennya aliran behaviorisme banyak menggunakan binatang karena kesamaan prinsipnya dalam berperilaku, walaupun terkadang juga pernah menggunakan manusia seperti yang dilakukan J.B. Watson.