Di pagi buta itu, ia membawa tubuh tuanya itu untuk berjalan menyusuri rumah-rumah yang masih sepi. Tangan keriputnya mengetatkan ikatan selendang yang membawa bakul di punggung yang sudah bongkok itu.
Marjiah begitulah dia dipanggil, harus menyambung hidupnya dan anaknya yang lumpuh demi sesuap nasi.
Ketika perempuan di usianya sudah bersantai menikmati hari tua namun ia harus menanggung kerasnya kehidupan. Namun ia tak pernah mengeluh dan berpasrah diri kepada yang Maha kuasa.
Ia menawarkan jajanan pasar yang dia ambil dari tetangga nya yang mempunyai usaha katering. Maklum ia sudah tak mampu membuatnya karena sudah pikun dan juga alat dapurnya kurang memadai.
Lalu setiap pagi ia mulai pekerjaannya dengan menawarkan dagangannya tersebut dari rumah ke rumah. Ia menawarkan dagangannya mulai dari desa kumuh tempat ia tinggal hingga perumahan orang yang bisa dikatakan mampu.
Ia tidak bisa masuk ke dalam kawasan elit karena ada portal yang menghalanginya. Ia baru pulang ke rumah ketika menjelang siang untuk mengecek keadaan anaknya yang lumpuh.
Anaknya, Sarman berusia akhir tiga puluhan sudah lumpuh hampir selama lima tahun dikarenakan kecelakaan kerja yang di alaminya waktu bekerja menjadi kuli bangunan.
Ia waktu itu sudah menikah namun melihat kondisi memprihatinkannya tersebut membuat istrinya pergi meninggalkan dirinya. Hanya ibunyalah yang bersedia merawat dan menerimanya.
Seharusnya Marjiah tidak semelarat ini jika saja dia tidak meminjamkan tanah warisan keluarganya kepada adik laki-lakinya puluhan tahun yang lalu. Kala itu adiknya yang seorang pengusaha tebu namun memiliki tabiat buruk yaitu sering berjudi dan main perempuan akhirnya bangkrut.
Adiknya tersebut memelas meminta belas kasihan kakaknya agar sudi untuk meminjamkan uangnya untuk modal usaha. Banyak orang khawatir bahwa adiknya itu akan mempergunakan uang tersebut untuk judi lagi.