Bismillahirrahmaanirrohim
Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan, seseorang tergolong miskin jika pengeluarannya kurang dari Rp535.547 per bulan atau setara dengan $3,16 PPP per hari. Sementara, batas kemiskinan negara berpendapatan rendah terbaru adalah $2,15 PPP per hari. Garis Kemiskinan pada September 2024 tercatat sebesar Rp595.242,00/kapita/ bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp443.433,00 (74,50 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp151.809,00 (25,50 persen). Jumlah penduduk miskin pada September 2024 sebesar 24,06 juta orang, menurun 1,16 juta orang terhadap Maret 2024 dan menurun 1,84 juta orang terhadap Maret 2023. [1]
Dari data tersebut apakah zakat bisa membantu pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan di Indonesia, apalagi dalam beberapa hari terakhir kita mendengar dan juga membaca dibeberapa media online nasional terkait dengan usul Ketua DPD Sultan Bachtiar Najamudin terkait dengan program Makan Bergizi Gratis dibiayai dana Zakat.
Dalam perspektif fikih zakat, penggunaan dana zakat untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk pangan, telah dibahas secara luas. Para ulama sepakat bahwa zakat dapat digunakan untuk membantu golongan yang berhak (asnaf), termasuk fakir dan miskin, agar mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih layak. Oleh karena itu, zakat berpotensi menjadi solusi strategis dalam memastikan akses terhadap makanan bergizi bagi mereka yang membutuhkan.
Makalah ini akan mengkaji zakat sebagai solusi pemberian makanan bergizi bagi fakir dan miskin dari sudut pandang fikih zakat. Kajian ini bertujuan untuk menggali bagaimana prinsip-prinsip zakat dapat diterapkan secara efektif dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin melalui pemenuhan kebutuhan pangan bergizi. Dengan demikian, diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan wacana pemberdayaan sosial berbasis zakat.
Pengertian Zakat
Zakat merupakan kata dasar ( Masdar ) dari Zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik[2] . Menurut Dr. Yusuf Qardawi Zakat adalah bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah wajibkan untuk diberikan kepada mustahiqqin (Orang -- orang yang berhak menerima zakat).[3]
Mustahiq yang dimaksud adalah sesuai dengan Al-Qur'an Surah At-Taubah ayat 60 yang artinya "Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana."
Menurut Seikh Yusuf Qardawi, zakat adalah sistem ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dengan mendistribusikan kekayaan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin. Beliau menekankan bahwa zakat tidak hanya bersifat individual, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang luas untuk menciptakan keseimbangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Fatwa Manjelis Ulama Indonesia Terkait Status Dana Zakat
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang Masalah Status Dana Zakat yaitu Keputusan Ijtima ulama komisi fatwa seindonesia VIII tentang Masalah Status Dana Zakat Nomor 06/Ijtima' Ulama/ VIII/2024 dengan ketentuan Hukumnya adalah
- Dana zakat bukan milik negara maupun milik badan amil zakat atau Lembaga amil zakat, tetapi milik mustahik (muslim yang fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, yang terlilit hutang, fiisabilillah dan ibnu sabil), karenanya, tidak termasuk dalam kategori keuangan Negara;
- Amil zakat wajib mengelola dan menyalurkan zakat kepada mustahik sesuai ketentuan syariah dan dengan berpegang teguh pada prinsip Amanah, adil, transparan, akuntabel, professional dan sesuai dengan tata Kelola yang baik[4]