Lihat ke Halaman Asli

Mentoring, Strategi Efektif Mendidik Remaja Jauh dari Budaya Kekerasan

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya kekerasan seolah bukan menjadi hal asing dikalangan anak didik kita. Berita terbaru di salah sekolah di Bukit Tinggi, anak seusia SD melakukan adegan kekerasan di sekolah kepada teman sebayanya. Sungguh ironis bahwa peristiwa itu malah menjadi bahan tontonan rekan-rekan sebayannya tanpa peduli untuk melerai atau mencegah sikap kekerasan tersebut. Adegan rekaman kekerasan yang tersebar luas di berbagai media tersebut seolah menjadi tamparan keras untuk dunia pendidikan Indonesia betapa budaya kekerasan dikalangan remaja sudah mencapai level yang menghawatirkan. Adegan kekerasan tersebut bisa jadi sekedar fenomena gunung es, kejadian lain yang belum terekspos di media kemungkinan lebih banyak lagi yang tidak diketahui oleh publik. Menjadi tugas besar siapapun yang peduli dengan dunia pendidikan Indonesia untuk segera berbenah diri, mengevaluasi diri dan menatap masa depan pendidikan Indonesia untuk menciptkan generasi muda Indonesia yang berbudaya dan bermoral baik.

Sebagai seorang guru yang mengajar di sekolah menengah pertama dan sering bersinggungan dengan dunia remaja, menjadi pengamat perilaku remaja, meneliti berbagai kasus kekerasan dikalangan remaja, saya sedikit menarik kesimpulan bahwa berbagai faktor yang menyebabkan sekaligus mendorong budaya kekerasan dikalangan remaja adalah

Pertama, berbagai tontonan kurang mendidik dan mencontohkan kekerasan, budaya mengejek dan menjelekan kawan sendiri yang marak di televisi. Budaya saling mem-bully seolah suatu hal yang lumrah dan tidak bermasalah. Rasa empati dan saling tolong-menolong dalam kebaikan seolah hilang. Disisi lain tontonan adegan berpacaran, saling berkelahi memperebutkan cewek idaman menjadi dominasi tayangan televisi.  Sementara itu berbagai tayangan reality show yang konsep sebenarnya hanyalah sekedar bercanda-candaan dan lucu-lucuan dengan saling memukul, mengejek, menjelekan orang lain, seolah menjadi hiburan yang layak untuk menjadi bahan tertawaan, padahal dampak psikologis bagi penontonnya tidak bisa diremehkan begitu saja. Apalagi kebanyakan orang tua belum bisa bertindak tegas kepada anak-anaknya untuk memilih tontonan yang baik dan mendidik. Memang ada bantahan bahwa “jika tidak suka matikan televisinya tidak usah menonton”. Namun itu bukanlah solusi. Kita tidak bisa mengontrol apakah orang harus suka ini dan tidak boleh suka itu karena hakikatnya semua orang menonton televisi untuk mendapatkan hiburan sekaligus tuntunan. Itu termasuk ranah privat yang setiap orang punya hak dan kebebasan sendiri. Cara pencegahan terbaik adalah memberikan “hidangan” yang baik untuk bisa di tonton sekaligus memberikan dampak  baik bagi pemirsanya. Bahkan lembaga Komisi Penyiaran Indonesia ( KPI ) telah merilis tayangan televisi yang tidak layak ditonton untuk remaja. Berdasarkan kajian dan hasil pemantauan yang telah dilakukan secara intensif terhadap tayangan anak dan kartun yang disiarkan stasiun televisi, KPI memutuskan terdapat beberapa tayangan anak dan kartun berbahaya dan tidak layak ditonton anak-anak. Tayangan tersebut penuh dengan muatan-muatan yang berdampak buruk bagi perkembangan fisik dan mental anak, yaitu:

1.Kekerasan fisik (mencekik, menonjok, menjambak, menendang, menusuk dan memukul)

2.Kekerasan terhadap hewan

3.Penggunaan senjata tajam dan benda keras untuk menyakiti dan melukai seperti pisau, balok, dan benda-benda lainnya

4.Kata-kata kasar

5.Adegan-adegan berbahaya

6.Perilaku yang tidak pantas seperti membuka celana dan memperlihatkan ke teman-teman dan merusak benda-benda

7.Sifat-sifat negatif (emosional, serakah, pelit, rakus, dendam, iri, malas, dan jahil)

8.Muatan porno

9.Unsur-unsur mistis

Setidaknya langkah ini patut diapresiasi dan di dukung, namun hal itu belum cukup. Harus ada perlakuan khusus untuk anak-anak remaja kita, calon generasi penerus bangsa Indonesia.

Kedua, nampaknya fenomena hilangnya rasa empati dikalangan remaja kita sudah nampak semakin nyata. Tidak diketahui bagaimana hal ini bermula dan bisa terjadi dewasa ini. Sikap saling menjelekan antar teman sendiri, saling membully, tidak peduli perasaan orang lain yang tersakiti, egois dalam bersikap menjadi contoh sikap yang mudah ditemui di kalangan remaja. Dari data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukan seperti berikut ini

dari data di atas menunjukan bahwa jumlah kasus kekerasan pada anak semakin lama semakin meningkat dari tahun 2010 sebanyak  2.413 kasus menjadi 3.023 kasus di tahun 2013. Pada tahun 2014 laporan kasus kekerasan telah mencapai 252 kasus per Maret 2014. Bila hal ini tidak segera dicegah serta ditangani maka ke depannya makin sering kasus kekerasan terjadi pada remaja. Tentu dampak kekerasan ini akan berkelanjutan hingga masa dewasa anak nanti

Menelisik ceplosan “emang gue pikirin”(EGP), “masalah buat eloh (masbuloh)”,”salah elo sendiri” dan sebagainya. Kita cermati bahwa makna tersirat kalimat tersebut mencerminkan rasa acuh, cuek dan tidak mau peduli dengan keadaan orang lain. Anehnya justru kata-kata inilah yang lazim dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Meski ada yang mengatakan bahwa hal tersebut Cuma untuk bercanda dan sekedar bahan olok-olokan semata, namun dampak psikologi jangka panjang alam bawah sadar manusia akan terbawa dalam jangka waktu yang lama. Memang ada masalah dalam penggunaan bahasa para remaja kita. Mereka cenderung menggunakan bahasa kasar, mengalami penurunan kualitas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan sopan. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, pertumbuhan penggunaan gagdet oleh para remaja mengalami peningkatan yang pesat. Anak seusia SD sekalipun sekarang sudah membawa smartphone. Bisa jadi anak-anak jadi lebih asyik dengan dunia nya sendiri, terputus nilai kepekaan sosialnya dan cenderung lebih egois dalam bersikap dan mengambil keputusan tanpa memperdulikan keadaan orang lain. Nilai kepekaan sosial dan rasa empati yang hilang dari sebagian besar remaja kita bisa jadi karena adanya pergeseran nilai dan pola pendidikan remaja serta derasnya arus informasi di era globalisasi. Setiap anak berpotensi untuk mendapatkan contoh perilaku yang buruk dari berbagai sumber.

Pemerintah Indonesia melalui kebijakan baru penerapan kurikulum 2013 sebenarnya sudah mencanangkan pola pendidikan karakter melalui berbagai bentuk aktivitas penbelajaran di ruang kelas maupun di luar kelas, namun nampaknya hasil dari kurikulum 2013 tidak bisa langsung instan dilihat dalam jangka waktu yang singkat, perlu adanya proses yang berkelanjutan serta konsisten dan waktu yang lama untuk melihat hasil dari penerapan kurikulum pendidikan karakter disekolah. Saya melihat perlunya strategi efektif untuk mempercepat pola pendidikan karakter siswa serta remaja yang tidak hanya diberlakukan disekolah saja, melainkan penerapan strategi pendidikan karakter terintegrasi sekolah dan orang tua serta pihak ketiga yang membantu memberikan pengarahan, mediasi, fasilitator dan konselor demi tercapainya pendidikan karakter yang maksimal dan bisa sediki demi sedikit mempercepat perubahan karakter dan budaya siswa serta remaja dengan syarat perlakuan model pembelajaran yang konsisten, terintegrasi dan berkelanjutan.

Demi menjawab permasalahan tersebut, Saya tertarik dengan model pembelajaran mentoring sebagai penunjang kegiatan pembinaan anak di sekolah dan di luar jam belajar sekolah. Pola pendidikan mentoring memiliki banyak keunggulan yang mampu menjawab berbagai masalah pembelajaran di sekolah dan strategi pendidikan karakter yang efektif terhadap anak/remaja. Ada beberapa tantangan pola pembinaan, konseling dan pendidikan karakter yang sejauh ini berjalan penerapannya di kurikulum 2013, misalnya saja adalah lemahnya kontrol dan integrasi dengan pendidikan agama, moral dan etika anak baik dari orang tua maupun dari guru sendiri. Saya melihat bahwa tantangan kelemahan strategi ini bisa di jawab oleh mentoring. Hal ini tentunya berpengaruh besar terhadap pencegahan dan pembinaan untuk pelaku budaya kekerasan maupun dari korban kekerasan itu sendiri. Berbagai keunggulan pendidikan secara mentoring misalnya adalah

Pertama, pembinaan pada pendidikan mentoring mengintegrasikan pendidikan formal sekolah dengan strategi lembaga mentoring yang ditunjuk dari sekolah. Lembaga mentoring memberikan pendidikan dengan membagi kelompok-kelompok kecil siswa dengan satu mentor pembina. Mentor ini berperan sebagai fasilitator, konselor, tempat curhat, bahkan orang tua kedua yang bertanggung jawab atas tindakan dan potensi kedepannya. Mentor ini juga mempunyai kewajiban untuk berkomunikasi dengan orang tua kandung siswa dalam rangka pembinaan berkelanjutan anak selama di rumah. Selain itu bila ada penugasan atau pengawasan tertentu untuk anak, kerja sama orang tua dan mentor dituntut  lebih intesif dan proaktif demi menyelesaikan masalah serta kendala anak.

Kedua, Pembinaan secara intensif dan berkala dalam tempo waktu minimal sekali sepekan atau sebulan sekali. Pembinaan ini bisa di kuasakan pada mentor-mentor yang tunjuk dari pihak sekolah yang berasal dari guru-guru sekolah itu sendiri maupun melakukan kerja sama dengan para pembina yang di datangkan dari Lembaga Mentoring Profesional maupun dari Sukarelawan. Para mentor ini telah dibekali oleh pengalaman dan pemahaman bagaimana menangani permasalahan remaja dan seluk beluknya. Memberikan pembinaan dengan pendekatan moral, etika dan karakter anak remaja. Pembinaan ini tentu juga mengintegrasikan pelajaran disekolah serta pendidikan agama/akhlaq yang baik sesuai dengan tuntutan kurikulum pemerintah saat ini.

Ketiga, Mentoring memberikan variasi kegiatan penunjang demi memperkuat pendidikan karakter anak serta menyalurkan potensi anak secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan mentoring yang dikelola secara profesional memberikan berbagai kegiatan penunjang seperti tafakur alam dengan kemah bakti dan jelajah alam bahkan outbond, tugas membaca buku dan diskusi dengan kelompok mentoring, renungan suci dan muhasabah diri, pelatihan motivasi dan potensi diri, bakti sosial, sumbangan dana sosial dan sebagainya. Tujuan pembinaan dan kegiatan penunjang tersebut  adalah untuk membentuk karakter remaja yang kuat dan berkepribadian baik tentunya adalah mengikis budaya kekerasan bahkan menghilangkannya. Potensi positif nya bisa disalurkan melalui kegiatan pembinaan mentoring seperti hiking, maupun olah raga  bela diri di bawah pembinaan pendidikan mentoring.

Tinggal bagaimana guru dan siswa yang ada di sekolah bisa memanfaatkannya sebagai bagian dari proses pendidikan baik itu masuk sebagai kurikulum inti atau tambahan, yang jelas manfaatnya cukup dirasakan baik oleh guru maupun siswa itu sendiri bahkan orangtua. berbagai manfaat yang nyata dari kegiatan mentoring misalnya adalah secara psikologis kedekatan guru/mentor dengan siswanya akan lebih terjalin sehingga akan mendukung proses pembelajaran selanjutnya baik di kelas atau di luar kelas, secara pedagogis maka dengan sendirinya akan mendukung program pendidikan karakter, pendidikan karakter yang tidak menjelimet seperti pada kurikulum 2013 serta secara akademis forum mentoring bisa dijadikan sebagai ajang konsultasi akademik, karena dalam mentoring selain diisi dengan bimbingan rohani juga ada diskusi ilmiah serta musyawarah.

Sekilas tentang keunggulan strategi pendidikan anak secara mentoring itulah yang dipandang bisa menjawab kelemahan strategi pendidikan karakter remaja. Paling tidak hal ini bisa mengikis budaya kekerasan dan mencetak generasi muda yang unggul dan bermoral baik bagi bangsa Indonesia kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline