Lihat ke Halaman Asli

The Bomber Diary

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bismillah, pagi ini aku akan menjalankan jihad suci, ya rabb berilah hamba keberanian untuk membinasakan para manusia kafir yang mendurhakaimu itu.

Dengan ijinmu aku pun mudah memasuki tempat patung disalib terkutuk yang mereka sembah, sebentar lagi tempat ini akan penuh dengan darah.

Sekarang kulihat tiga orang telah datang dan mengisi bangku kayu yang kosong.

Seorang orang tua beruban dan sepasang suami istri, semuanya berkulit putih bersih, berbaju mahal dan kelihatan intelek, cih tidak sepertiku yang berwujud kumal dan tidak lulus S.D.

Kata syeikh, sesungguhnya menumpahkan darah mereka akan bisa mencuci dosa-dosaku, dan menjadikan contoh bagi mereka tentang kejahatan mereka.

Sesaat kemudian, lalu datang delapan orang lagi, dua orang diantaranya adalah orang asing dari bangsa yang sesungguhnya sesat sedari dulu.

Cih melihat warna dan bentuk kulit mereka yang seperti babi itu membuatku ingin muntah.

Dan aku tersentak kaget, saat kurasakan ada yang menyentuh lenganku.

Rupanya seorang anak perempuan menarik-narik kausku dan berbicara dengan bahasa bayi yang aku tak paham.

Ia tesenyum lebar, membuatku teringat pada seseorang.

Lalu ibunya datang menggendongnya pergi sambil memandangku sinis seolah melihat binatang atau pengemis atau semacamnya.

Aku mengumpat dalam hati, benciku pun makin memuncak.

Pengunjung telah hampir penuh, kesabaranku sebentar lagi akan terbayar, tapi nyeri diperutku menurunkan sedikit semangatku, ini akibat aku belum makan sejak hari sabtu kemarin, suara keroncongan mulai mengganggu dan membuat semua orang menoleh padaku dengan tatapan merendahkan, CIHH.

Kurasakan lengan bajuku ditarik pelan.

Bocah kecil tadi menyodorkan sepotong roti isi dadar sambil tersenyum, sesaat akupun terhenyak.

Kembali, ibunya menyeret si bocah, kali ini tanpa sudi menatap wajahku yang kusam dan kampungan ini.

Melihat itu, aku menggeram dalam hati, menahan bara dan benci yang menggumpal sangat pekat.

Lalu setelah bersabar disekeliling orang kafir, akhirnya seluruh ruangan telah penuh, mereka akan segera memulai ritual sesatnya yang busuk.

Aku langsung merogoh tas tangan tempat syeikh menaruh bom yang sudah dipersiapkan sejak sebulan lalu.

Bom itu hilang, aku langsung panik.

Kudengar suara tawa ceria dari samping, rupanya si bocah kecil sedang memainkan bom waktu yang dirakit dari jam berbentuk angry bird itu, setelan waktunya pun sudah berputar dan akan segera meledak dalam beberapa menit.

Aku mengejarnya spontan, tapi ia kemudian berlari dengan lincah nan ceria, seolah sedang ingin bermain-main denganku.

Jantungku berdetak kencang, aku teringat adik perempuanku Fitri, senyum dan suara tawanya persis mengingatkanku pada adikku dikampung.

Ya rabb, sesungguhnya apa yang sedang aku lakukan, aku mulai ragu dengan kemuliaan tugas ini.

Apa benar semua ini aku lakukan demimu, ataukah demi iri hati dan kebencian hatiku yang kotor yang mengatasnamakan dirimu.

Si bocah bergerak lincah kelantai atas, entah kenapa kecepatan orang dewasa sepertiku tak mampu menyusulnya.

Keraguan semakin menghantuiku.

Ya rabb, apa benar semua yang aku lakukan ini akan membuatmu senang.

Bukankah engkaulah yang menghidupkan orang-orang ini dan membuatnya berbeda dari kami, lalu apa hak kami mengambil nyawa mereka.

Semua hal yang tak pernah kupikirkan atau diajarkan guruku tiba-tiba berkerumun dikepalaku dan membuat kepalaku begitu pusing, hingga kakiku tersandung anak tangga.

Saat kupandang kedepan, di dua anak tangga atasku tergeletak bom waktuku dengan kaki-kaki kecil tepat diatasnya.

Aku tercengang karena aku melihat sosok adikku, bukan anak kecil tadi, ia tengah tersenyum manis padaku.

Kemudian wujudnya semakin samar, samar, samar, dan menghilang.

Tak sempat menemukan jawaban peristiwa aneh ini, bom pun meledak.

Yang kulihat hanya cahaya yang tak bisa digambarkan dan bunyi samar suara lonceng yang bergetar merdu.

Lalu hilang.

THE END

AUTHOR NOTE: YA TUHAN JADIKANLAH AKU SEPERTI APAPUN MAUMU, TAPI AKU MOHON JANGAN JADIKAN AKU MAKHLUK YANG PEMBENCI.

MAAF KALO RADA SARA, TIDAK ADA MAKSUD DARI PENULIS UNTUK MENYINGGUNG AGAMA TERTENTU ATAU PIHAK MANAPUN, KARYA INI HANYA KATA HATI DARI PENULIS RENDAH YANG JAUH DARI KESEMPURNAAN

Purnomo B Rahmat 12-8-2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline