Lihat ke Halaman Asli

Nameless Knight

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditempat gelap ini aku terjebak.

Tak ada dinding maupun objek apapun disini, hanyalah gelap gulita yang tak berujung, serta aku, pedang yang kugenggam dan monster menjijikkan itu.

Monster itu bersisik hijau mengkilat seperti baja, barambut panjang mengembang dan acak-acakan, lidahnya terjulur terbelah seperti ular, ekornya bagai tombak yang melengkung, liurnya berwarna nanah, dan matanya yang memerah melotot menatapku seperti mau lepas.

“GRRRR, GRITTON YYANG AKKAN HIDDUPP, SHHSS” ucapnya dihadapku.

Ia lalu menerjang, cakarnya beradu dengan pedang yang kugenggam dengan dua tangan, kusabet tubuhnya berkali-kali, tapi sisiknya bahkan tidak tergores barang seinci pun.

Ia mendesis kencang dan meludahkan bisanya kearahku.

Lalu.

Aku terbangun.

Mataku terbuka dan langsung tersilaukan matahari musim panas, aku bengkit sekuat tenaga lalu terkejut amat sengat.

Disemua penjuru, mayat bergelimpangan,bertumpukan hingga sampai disudut benteng raksasa yang terjauh, prajurit dan orang biasa semuanya tewas tak bersisa.

Lalu begitu aku menyadari sesuatu, aku pun menjadi makin dan semakin bingung.

Baru aku sadari bahwa aku tak tahu sedang ada dimana, apa yang sebenarnya terjadi, bahkan aku tak tahu siapa sebenarnya aku.

Kepalaku pusing teramat sangat serasa mau meledak.

Secara naluri aku pun berlari, aku berlari sekencangnya kearah istana raja nan megah, entah karena apa.

Didalam istana yang berhiaskan emas permata disemua sudut itu tengah menggenang darah dari ratusan prajurit yang kesemuanya tergeletak untuk melindungi junjungannya.

Bersandar tak berdaya disebuah pilar marmer, seorang prajurit yang masih terpejam dan berluka cakar nan lebar dilehernya.

“SElaMaaTkAnpuTrI he HeleNA” gumamnya pelan, lalu kemudian tertunduk kaku dan terdiam.

Ia kini telah pergi.

Aku kemudian berlari kegerbang ruangan raja, disana juga para pengawal sudah tak ada lagi yang bernyawa, tubuh-tubuh mereka tercerai berai amat mengerikan disegala penjuru.

Sementara itu sang raja tengah terbatuk muntah darah diatas singgasananya, tubuhnya miring dan seolah ingin terjatuh tapi tak juga bisa.

Saat aku menghampirinya dan bertanya siapa yang melakukan perbuatan biadab ini, raja sekarat yang masih bermahkota itu tergetar dan berucap tersengal-sengal.

“G GrITToN !!” lalu ia pun terpejam dan akhirnya juga pergi menyusul semua rakyatnya.

Aku semakin bingung bagai seolah tersesat, tiba-tiba terlihat gambaran sesuatu difikiranku, peristiwa saat aku menjadi prajurit yang membela negeri ini

Aku berjuang puluhan tahun untuk menjadi ksatria yang terpandang, membela rakyat yang tertindas dan bertarung melawan kegelapan yang hendak menyelimuti negeri.

Disaat aku tertunduk bersimpuh karena menahan pusing yang teramat sangat, langit-langit istana tiba-tiba runtuh.

Kepala Gagak raksasa yang sehitam malam, menjebol atap dengan paruhnya yang sebesar perahu, disahutnya tubuhku, ditelan bulat-bulat lalu aku berasa terbang.

Didalam perutnya aku melesak tak berdaya, tubuhku tak bisa digerakkan karena celah yang ada sungguh terlalu sempit.

Semakin lama aku semakin terperosok makin dalam, hingga aku berada disemacam lambung yang berisi banyak manusia yang tidak utuh lagi.

Cairan-cairan lendir disitu berasa seperti menggerogoti tubuhku perlahan, aku berteriak menjerit sekerasnya tetapi tak ada suara yang terdengar.

Dan lalu, perlahan-lahan aku kembali dikelilingi gambaran peristiwa yang seketika memenuhi imaji otakku.

Saat itu malam, aku dan puluhan pasukanku sedang memburu monster yang bernama Gritton, berdasarkan laporan banyak penduduk kota,monster itu telah memakan sepuluh orang gadis dan hanya meninggalkan kepalanya saja yang tersisa.

Disetiap ada kasus baru, kami selalu melacak jejaknya yang sangat mencolok dan sulit dihapus, tapi jejak-jejak itu selalu tiba-tiba membaur dikeramaian dan menghilang dengan tanpa jejak.

Disaat tengah terbukanya memoriku, aku seketika terbangun saat seluruh tubuhku berasa panas bagai direbus dikuali.

Kutebaskan pedangku sekuat tenaga hingga perut sang gagak robek.

Kudengar Gagak raksasa itu menyalak amat kencang seperti anjing sekarat.

Lalu aku terjatuh dari langit yang amat tinggi, melesat meluncur kedaratan dibawah yang berupa tebing yang gelap dan seperti bersembunyi dari matahari.

Tepat disisi tebing aku melesat lurus, kutancapkan pedangku didinding tebing untuk meredam kecepatan jatuhnya, aku terus melorot dengan bertumpu pada pedang dan kedua kakiku yang sudah linu dan kesemutan.

Tangan dan kakiku yang kehabisan tenaga membuat aku jatuh bergulung didaratan curam, dan lalu membentur tanah datar yang sekeras batu kali.

Disaat aku bangkit, didepanku kulihat goa gelap yang seolah memanggilku untuk menjelajahinya.

Seperti tubuhku bergerak tanpa disuruh, melangkah satu demi satu memasuki goa yang ternyata bagian dalamnya lumayan luas.

Terlihat tangga panjang dari batu yang melingkar hingga kebagian atas bukit, tangga yang tak asing kurasa.

Kembali aku merasa pusing, berkali lipat lebih pusing, benar-benar amat sangat pusing, pandangan sadarku yang melihat tangga batu tercampur imaji yang berupa mirip.

Aku seperti melihat seorang nenek tua yang sangat jelek tengah menggendongku, menimangku yang rasanya masihlah bertangan teramat mungil, Ia menuruni tangga ini, tangga yang benar-benar sama, entah mungkin berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Bayangan itu semakin samar saat aku melangkah naik menuju tangga yang melingkar, setiap anak tangganya kurasa seperti kenal dan menyapaku.

Saat hampir tiba dipuncak anak tangga terakhir, tiba-tiba seluruh tangga itu bergetar dan bergerak berputar hingga membuatku terlempar.

Aku masihlah beruntung, karena terjatuh dilantai batu dengan aman karena berhasil memijakkan kaki tanganku tepat waktu.

Tampak diatas, wujud asli tangga panjang itu yang ternyata merupakan Ular Batu Raksasa.

Ular itu bergeliat dan menubrukkan kepalanya kearahku, tetapi aku berhasil menunduk kebawah hingga berhasil menghindarinya.

Kesempatan tak kusia-siakan, kusabetkan pedangku dengan kedua tangan tepat kelehernya hingga hampir memenggalnya putus.

Ular itu bergeliat menakutkan karena sekarat, berputar-putar dan membentur segala hal yang ada, hingga membuat pintu keluar goa tertutup karena dihalangi badan besarnya yang tergeletak mati.

Lalu tiba-tiba lubang bulat ditengah goa mengeluarkan lahar yang membuncah amat banyak, membenjiri lantai dan dalam waktu singkat akan menenggelamkan dan membunuhku jika aku masih tetap disini.

Kutarik lidah ular batu itu yang ternyata amat sangat panjang, kupotong dan kuikatkan digagang pedangku.

Kulempar sekuat tenaga kearah lantai atas hingga menancap kuat didinding atas goa.

Dan aku pun berlomba adu cepat menaiki goa melawan kolam lahar yang tak begitu jauh dari tapak kakiku.

Terus memanjat dan memanjat hingga keringatku mulai habis karena dipanggang dengan hawa lahar yang melebihi panasnya api.

Setelah bersusah payah, aku akhirnya sampai dirungan diatas goa walaupun dengan tenaga yang hampir terkuras tanpa sisa.

Disini hanya ada satu lubang yang seperti pintu, jalurnya berkelok-kelok tetapi tak pernah sekali pun bercabang, kususuri perlahan sambil memasang semua indera sewaspada yang aku bisa.

Semakin kedalam terendus bebauan yang semakin mewangi, wanginya seperti tak asing dan sering menyelimuti udara hidupku.

Genggaman pedangku semakin mengendur dan mengendur, dan akhirnya terkulai lemah saat aku bertemu dirinya tepat dihadapanku.

Wanita yang sangat indah, dulu aku mengenalnya dan suatu dosa besarlah bila aku melupakan cinta sejatiku ini.

Putri Helena, putri tercantik dan yang dipuja jutaan pangeran, kini menatapku dengan begitu teduh.

Aku ingat.

Disetiap pagi, ia keluar dari jendela kamarnya bersamaan dengan burung-burung warna-warni yang menyanyi riang, aku selalu menatapnya dari bawah dengan tanpa kedip sedetik pun.

Aku pun langsung ingat bahwa alasanku menjadi ksatria adalah untuk melindunginya, dan untuk bisa bertemu dengannya disetiap pagi yang sejuk.

Ia kini tersenyum.

Dan tanpa kuduga, menyemburkan sesuatu kepadaku.

Ia menyemburkan jaring coklat yang sangat kuat dan lengket , jaring-jaring itu menempel disemua sisi lorong dengan disertai aku yang terjebak ditengahnya.

Aku terkaget amat sangat, rasa amarah mendidihkan kepalaku.

Siapa sebenarnya wanita ini, jelas sekali bukan putri Helena yang sesungguhnya.

“Hihihihk, kau pasti kebingungan wahai ksatria, aku adalah penyihir Gwaczicoat, sudah sekian lama aku menginginkan wujud sempurna tuan putri Helena yang paling cantik didunia ini, hihihihihihk” ia berucap seperti nenek-nenek.

“Hihihihihihk, Gritton telah memberikan putri ini padaku, dan tubuhnya sekarang telah menjadi milikku, hihihihihihihihihihihihihk”

Penyihir Gwaczicot, aku ingat, dia adalah wanita yang dibuang dari seluruh negeri karena malakukan perbuatan meneluh paduka raja.

“Hihihihihk, raja brengsek, setelah dia memperkosaku dia menuduhku sebagai penyihir untuk mencuci namanya, hihihihihk, sekarang aku adalah penyihir asli, dan dia dan semua rakyat yang menghinaku dulu sudah kubinasakan, hihihihihihihihihk”

Tawanya yang mengerikan menggema diseluruh goa dan hampir memecahkan gendang telingaku.

Aku pun lalu bertanya, bertanya tentang sebuah misteri yang memenuhi mimpiku, bertanya tentang siapa sebenarnya Gritton, kenapa dan apa sebenarnya dia.

“Hihihihik, Gritton adalah anakku, yang lahir dari rahimku yang dikawini semua monster yang aku kenal, hihihihik, Gritton adalah makhluk paling terkutuk, tidak ada yang bisa melukai apalagi mengalahkannya, hihihihiihik”

Kutarik jaring jerat ini sekuat tenaga, tapi semakin kuat aku berontak, jaring-jaring itu makin mengerat dan mengerat.

Kutatap wajah si penyihir, lalu kutanyakan pertanyaan yang paling ingin kutahu sejak aku terbangun dari mimpi buruk.

“Lalu siapakah aku ini ?”

“Hihihihihik, kau adalah Gritton, hihihihihhihihihihihihk” aku pun langsung terbelalak.

“Hihihihihihihk, aku merubah Gritton menjadi manusia, lalu membiarkan manusia itu menyusup bertahun-tahun diistana, lalu begitu mereka lengah, Gritton akan muncul lagi dan membunuh semuanya, hihihihihihihk”

Aku begitu murka, tak pernah aku murka semurka ini, sisik-sisik kehijauan mulai muncul ditanganku, tenaga yang sangat dahsyat menjalari nadi dan berasa seperti candu yang sangat nikmat.

Kusingkap jaring yang sekuat baja itu seperti selimut, hingga membuat si penyihir jatuh terduduk dengan amat ketakutan.

Lalu kucabut pedang yang menemaniku puluhan tahun dan kuacungkan padanya.

“Ja jangan akulah yang telah melahirkanmu”

Tanpa ragu kusabet tubuhnya hingga terbelah dua, darah hitam membuncah mengotori tubuh dan dinding goa.

Aku menangis, berteriak, dan meraung seperti orang gila.

Aku ingat semuanya, ya semuanya, saat-saat aku membunuh semua manusia itu, aku ingat dengan nikmatnya darah mereka.

Baru aku sadari egitu terkutuknya diriku.

Semua kebajikan yang kulakukan selama ini hanyalah ilusi, aku adalah monster, monster yang seharusnya tidak boleh ada didunia.

Lalu goa ini bergetar amat keras, bergemuruh, dan lalu berguncang amat keras hingga semua bebatuan diseluruh bagian tebing yang gelap itu roboh dan hancur tak bersisa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline