Lihat ke Halaman Asli

Ancaman Kesehatan Mental pada Siswa di Kala Pandemi

Diperbarui: 12 Maret 2021   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pandemi Covid-19 dan pemberlakuan pembatasan sosial telah menimbulkan rasa takut dan kecemasan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Kebijakan pembatasan sosial yang dilaksanakan di bidang pendidikan dengan adanya pemberlakuan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau biasa dikenal sebagai belajar dari rumah bagi seluruh siswa di Indonesia menimbulkan berbagai polemik bagi para siswa dan orang tua siswa.

Dengan kebijakan tersebut, tentunya para siswa mengalami perubahan drastis terkait dengan aktivitas normal di sekolah. Sejatinya aktivitas di sekolah adalah sarana untuk belajar dan bermain bagi anak dan remaja. Jadi, sejak pemberlakuan pembatasan, beragam aktivitas tersebut harus dilakukan di rumah bersama anggota keluarga dan orang tua mereka. Hilangnya waktu bermain dan belajar bersama dengan teman di sekolah, terbatasnya kesempatan untuk berkunjung ke area bermain, ataupun pengalaman menyaksikan secara langsung dampak Covid-19 terhadap orang tua atau anggota keluarga mereka (dampak fisik, ekonomi, dan psikologi), adalah pengalaman yang sulit bagi anak-anak dan remaja. Anak-anak mungkin banyak yang belum atau tidak mampu menghadapi perubahan yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba ini. Kemampuan anak dan remaja dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan akibat Covid-19 ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, kematangan, ataupun tahapan perkembangan anak.

Penelitian yang dipublikasikan di JAMA Pediatrics Journal dan dilakukan di Hubei China serta melibatkan 2.330 anak sekolah membuktikan bahwa anak-anak usia sekolah yang mengalami karantina proses belajar akibat Covid-19 menunjukkan beberapa tanda-tanda tekanan emosional. Bahkan, penelitian lanjutan dari observasi tersebut menunjukkan bahwa 22,6% dari anak-anak yang diobservasi mengalami gejala depresi dan 18,9% mengalami kecemasan. Hasil survei yang dilakukan oleh pemerintah Jepang juga menunjukkan hasil yang serupa, yaitu 72% anak-anak Jepang merasakan stres akibat Covid-19.

Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Investigasi yang dilakukan oleh Centre for Disease Control (CDC) menunjukkan 7,1% anak-anak dalam kelompok usia 3 hingga 17 tahun telah didiagnosis dengan kecemasan, dan sekitar 3,2% pada kelompok usia yang sama menderita depresi. Bahkan, penelitian lainnya menunjukkan bahwa isolasi akibat Covid-19 ini menyebabkan kondisi kesehatan mental anak-anak berkebutuhan khusus, seperti ADHD, ASD, dan disabilitas lainnya semakin buruk.

pembatasan kegiatan pembelajaran di sekolah ini tentunya berdampak signifikan pada kesehatan mental para siswa meskipun dengan derajat yang bervariasi. Data yang diperoleh dari survei penilaian cepat yang dilakukan oleh Satgas Penanganan Covid-19 (BNPB, 2020) menunjukkan bahwa 47% anak Indonesia merasa bosan di rumah, 35% merasa khawatir ketinggalan pelajaran, 15% anak merasa tidak aman, 20% anak merindukan teman-temannya, dan 10% anak merasa khawatir tentang kondisi ekonomi keluarga.

Berikut ini beberapa tanda anak tertekan dan terganggu mentalnya saat pandemi COVID-19 menurut The Union Journal:

1. Perilaku Regresif

"Secara umum, kita semua akan mengalami sedikit kemunduran dalam fungsi kita selama masa transisi besar ini," kata terapis Noel McDermott.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa anak-anak akan mengalami kemunduran dalam bersikap dan berperilaku seperti kembali mengisap ibu jari, membutuhkan mainan kesayangannya lagi, mengompol, dan sebagainya.

"Regresi adalah normal selama periode stres dan ketidakpastian," ujarnya.

2. Perubahan Nafsu makan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline