Lihat ke Halaman Asli

Rahma Roshadi

Freelancer Bahagia

Cerita Penulis Debutan

Diperbarui: 2 Februari 2021   07:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Entah tulisan ini akan dibaca banyak orang atau tidak, akan dapat review atau tidak, bodo amat. Hal terpenting bagi saya saat ini adalah, sambil membuat tulisan ini, saya bahagia dan senyum-senyum sendiri. Tertawa dalam hati, menertawakan kebodohan diri sambil meratapi sebuah tujuan yang salah saya pahami.

Dulu, ketika masih duduk di bangku SD, ada seorang anak yang (mungkin) sudah terlihat talentanya dalam menulis. Setiap mendapat tugas Bahasa Indonesia untuk membuat tulisan atau disebutnya mengarang, tulisannya tidak pernah kurang dari 2 lembar folio garis alias full 4 halaman. Meskipun, tugas yang diminta adalah merangkum sebuah cerita yang ada di buku. Alhasil, alih-alih mendapat nilai baik, saya justru mendapat teguran dari guru.

"Kenapa banyak sekali? Tugasnya 'kan merangkum!"

Dasar melankolis, anak SD ini tidak menjawab secara lisan namun hatinya menggumam "Ceritanya terlalu bagus untuk disingkat-singkat. Sudah bagus hanya 2 lembar folio, kalau kebablasan bisa jadi 1 buku solo."

Karunia ini tidak pernah dia sadari, meskipun berkali-kali ibu memberi 'clue', salah satunya waktu dia hendak masuk perguruan tinggi. Anak ini ngotot ingin masuk ke kedokteran hanya karena sudah dapat PMDK di sebuah universitas di Jakarta. Tapi kata Ibu, "Daripada kamu tersiksa, udah aja kuliah sastra. Kamu pasti suka."

Lagi-lagi si melankolis tidak menjawab. Anak ini hanya menahan air mata, sambil membatin, "Kalau saya masuk sastra, apa kata dunia. Anak IPA dari SMA Negeri favorit se-provinsi, dapat PMDK pula, malah nyastro." Sejenak dia terngiang kata-kata guru fisika di sekolahnya, yang merasa tabu kalau ada muridnya yang sampai kuliah sastra dan nggak masuk perguruan tinggi negeri.

Dasar anak melankolis, diterima saja saran ibunya, walaupun nggedumel. Semakin banyak grundelan di dalam hatinya, semakin dia tidak bisa melihat talenta yang dia punya. Dia tetap nggak nyadar, segitunya sudah lulus kuliah sastra dengan predikat cumlaude. Eh, malah pengen kerja di bank. Katanya gajinya besar, dan mereka menerima sarjana lulusan apapun.

Singkat cerita, karunia ini 'terasa' lagi mengetuk-ketuk relung hati. Dia ingin kembali diasah dan muncul ke permukaan bumi. Anak ini pun membuka pintu hatinya, lalu bilang, "Saya akan jadi penulis, supaya bisa terkenal, sukses, bukunya best seller dan kaya dari hasil royalti dan juara lomba menulis."

Mulailah dia menulis. Satu hari, dua hari, seminggu, sebulan, setahun, sampai sekarang ... lewat dua tahun. Hadiah lomba terbesar yang pernah ia terima hanyalah voucher belanja seratus ribu rupiah. Dia mulai galau, jangan-jangan menjadi penulis hanya emosi saja karena nggak punya pekerjaan. Seperti ada yang berbisik, "udahlah tinggalin aja. Nggak ada uangnya, nggak berguna."

Sembari menyeduh kopi susu dia berpikir, untuk membuat tulisan untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu sudah, nggak akan nulis lagi. Sembari mikir mau nulis apa, tiba-tiba seseorang kirim pesan WA. Dia dulu yang suka bantu-bantu ibu, waktu Ibu masih sehat. Dia minta tolong, minta diberi masukan untuk tulisannya yang mau dia kirim ke media online untuk lomba kisah nyata inspiratif. Dijawabnya "Oke", sambil terus mikir setelah ini mau nulis tentang apa. Sampai 3 hari lamanya.

Ceritanya dipersingkat lagi, ya. Tiga hari kemudian, mbak-mbak yang minta direview tulisannya itu kirim WA lagi, Panjang sekali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline