Memasuki peringatan hari Bakti Pemasyarakatan yang ke-55 pada tanggal 27 April 2019, beberapa media mengabarkan agenda percepatan rencana revitalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan di Indonesia.
Percepatan pelaksanaan agenda besar ini menguat, seiring dengan terjaringnya salah satu pucuk pimpinan lembaga pemasyarakatan di Indonesia dalam OTT KPK. Sorotan masyarakat tentang kepercayaan mereka terhadap lapas, dijadikan momentum pembenahan menuju lembaga yang berkinerja lebih baik dan secure.
Bukan hal mudah bagi UPT Pemasyarakatan di seluruh wilayah Indonesia selama ini, dalam melaksanakan tugas dan kewenangan mereka sebagai sub sistem terakhir dalam lembaga hukum peradilan pidana.
Lapas yang berfungsi sebagai tempat eksekusi pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan hakim, tidak serta merta hanya sebagai perpindahan tempat menginap para narapidana, melainkan mengemban tugas untuk menyadarkan para narapidana agar bisa kembali memasyarakat.
Melihat tujuan mulia ini, tentunya kita berpikir bahwa lembaga pemasyarakatan seharusnya diisi oleh para punggawa yang berkompeten seutuhnya, agar mampu melakukan pembinaan moral dan mental para narapidana.
Setidaknya untuk memberikan pemahaman kepada narapidana agar tidak mengulang perbuatan pidananya lagi. Namun bagaimana kebanyakan kondisi yang terjadi di UPT?
Memang tidak mudah untuk melaksanakan pembinaan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.
Lapas dalam hal ini harus mampu membuat seseorang 'menerima keadaan' secara mental bahwa dirinya adalah seorang terpidana, sementara narapidana datang dengan serangkaian proses pidana yang mereka lewati sendiri hiruk-pikuknya tanpa sedikit pun melibatkan personel lapas.
Hanya karena hukum formal yang memaksa lapas untuk mengalihkan 'hak asuh' narapidana kepada lapas, maka kemudian seringnya tugas dan fungsi pembinaan tersebut tidak terlaksana sepenuhnya oleh para petugas pemasyarakatan, mengapa?
Karena petugas lapas merasa tidak ada hubungan atau keterkaitan apapun dengan kasus yang dihadapi narapidana, terlebih lagi untuk memahami kondisi mental atau moril para narapidana pasca vonis hakim pengadilan.
Dengan pemahaman seperti ini, lapas tak ubahnya hanya sebagai tempat singgah bagi mereka yang sudah mendapat vonis BHT, dan petugas lapas pun menempatkan diri mereka sebagai 'kawan baru' bagi para narapidana.