Lihat ke Halaman Asli

Rahma Roshadi

Freelancer Bahagia

Riani Ingin Belajar Mengaji

Diperbarui: 17 Maret 2019   15:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Riani ingin belajar mengaji saja, Pak." Sebuah ingin yang tertutur datar dari seorang anak yang mulai mencari jati dirinya. Riani, anak perempuan satu-satunya dari Bapak Doktorandus Hasan Arif dan Ibu Salmah. Kedua orang tua Riani adalah punggawa negara yang demikian taat pada aturan-aturan negara dan juga perintah atasan.

"Nduk, kamu jangan bikin malu Bapak sama Ibu." Hela nafas berburu dengan kepul asap tembakau dari cangklong yang mulai berkerak oleh nikotin.
"Bikin malu apa to, Pak? Riani ndak mencuri. Riani juga bukan pengen jadi garong yang korupsi uang rakyat. Riani cuman pengen belajar ngaji. Riani pengen masuk pesantren, mondok, ngapalin Alquran, terus belajar ilmu-ilmu agama dengan baik dan kafah, supaya hidup kedepannya nanti jelas." Riani setengah merengek pada bapaknya yang lebih memilih mencermati arah asap menghilang daripada suara anaknya yang bersahutan dengan harap.

"Nduk, hidup jelas menurutmu kui opo to?" Sang bapak mengalihkan pandangan dari langit-lagit ke ubun-ubun anaknya. Dengan dagu sedikit tertahan. Mata sejenak berhenti berkedip. Sedikit tarikan nafas panjang dan penjelasan idealis seorang bapak akan dimulai.

"Kamu kan tau, Bapak Ibumu ini kerjo di pemerintahan. Bapak ibumu ini ndak punya keahlian lain selain jadi pegawai yang nurut sama ndoro-ndoro kita di kantor. Atasan bapak sama ibu, juga punya ndoro lagi yang lebih tinggi. Lha ndoronya ndoro itu, nek mbok teruske bisa sampai presiden."
"Hubungannya pak presiden sama Riani pengen mondok niku nopo, Pak?" tanya datar sang anak yang benar-benar tak paham dengan jalur kerja di otak sang ayah.

"Hubungannya? Nduk, kamu ndak pernah liat tivi apa? Kamu ndak pernah ndenger berita, desas-desus yang viralnya lagi rame banget itu. Semua orang lagi rame-ramenya hijrah. Lagi rame-ramenya ngikut ulama. Lagi kenceng-kencengnya menyampaikan pendapat sampai bawa massa majelis taklim. Dan itu semua, sama pemerintah dibilang radikal. Itu semua bakal dikasi stempel pemberontak, yang mau menguasai negara kita dan mengganti dasar negara pancasila."

"Tapi kan..."

"Lha trus bayangken! Kalo kamu sekarang mondok dan ngikut belajar agama sama kiai, terus jadi seperti mereka. Posisi Bapak sama Ibu kan bisa ikut bahaya. Bapak sama Ibu kan harus nurut sama pemerintah. Lha kok malah anaknya yang ikut-ikut demo ke pemerintah." Suara bapak sudah semakin menggelegar. Nada dasar yang digunakan pun semakin tinggi, begitu juga dengan pola pikirnya, yang tak terkejar oleh logika Riani yang masih jernih dengan segudang rencana masa depan.

Riani, hanyalah salah satu sosok anak perempuan yang terkekang cita-cita luhurnya untuk memperdalam ilmu agama Islam secara kafah. Dalam waktu dekat, dia akan menyelesaikan studi di bangku SMA. Pilihan jenjang studi selanjutnya akan sangat menentukan masa depannya yang masih sangat panjang. Dalam benak Riani, masuk ke universitas umum hanya akan menghasilkan ilmu-ilmu dunia. Pelajaran agama tidak diberikan dengan sangat detil di sekolah-sekolah seperti itu. Sementara nuraninya yang masih polos sudah mulai terketuk, bahwa pendidikan agama bagi seorang perempuan adalah bekal utama untuk menjadi seorang ibu yang baik. Karena bukan tidak mungkin, kalau Riani kuliah dan lulus nanti, dia hanya tinggal menunggu waktu untuk dinikahkan oleh jodoh pilihan Bapak.

Riani masuk ke dalam kamarnya. Pandangan matanya lebih memilih untuk menerawang membayangkan gelombang demo berjilid yang terjadi di ibu kota sana. Sekumpulan orang, komunitas, organisasi, yang semuanya menggunakan pakaian ala negeri Arab. Menandakan bahwa mereka semua muslim. Mereka bersatu atas nama ukhuwah islamiyyah. Beberapa orang yang memimpin gerakannya mengumbar orasi di atas panggung dan juga di mobil bak terbuka. Tidak ada yang salah dengan arus masa yang seiman itu. Bagi Riani, si anak SMA, itu sekedar kumpul layaknya demo biasa. Tapi entah kenapa, Ayah bilang itu bahaya.

Riani sejenak berbaring. Angannya membawa lamunannya semakin jauh ke Jakarta. Kalau diikuti dengan perjalanan fisik badannya, bisa habis ongkos ratusan ribu untuk naik kereta dari Jawa. Tanpa sadar, sedikit senyum tergambar di bibir Riani. Andai dia ada disana, bersama mas-mas dan mbak-mbak hijrah itu, pasti bakal ketemu banyak orang-orang terkenal. Artis-artis beken yang lagi ngetren berkomunitas. Dan yang pasti, kiai-kiai kondang yang sedang gencar meluruskan syariat islam. Ah, pasti adem ada di sana. Walaupun penuh berjejal peluh, tapi saudara seiman yang guyub akan menghadirkan atmosfer layaknya embun dingin yang menggerujuk kepala yang panas dengan urusan dunia. Pasti akan banyak teman, nambah saudara, sering sharing islami, dan....

"Nduk!" suara Ibu menarik lamunan Riani dari Jakarta kembali ke kamarnya.
"Nggih, Bu."
"Belum tidur?"
"Belum."
"Kamu pasti mikir omongan Bapakmu tadi to?"
"Iya, Bu. Bapak kenapa ngomong gitu to Bu? Riani ndak ngerti. Kan Riani cuman pengen belajar ngaji. Biar besok-besok ndak nyesel. Udah besar tapi cuman tau ilmu agama di kulitnya saja. Nantinya juga kan faedahnya buat Bapak sama Ibu juga kalau Riani paham agama."
"Ibu ngerti, nduk. Ibu ngerti banget jalan pikiranmu. Termasuk Ibu ngerti, kalau kamu pasti sudah mikir panjang soal kepengenmu belajar agama Islam dengan kafah ke pondok. Tapi kamu juga harus ngerti satu hal."
"Bapak?"
Ibu tersenyum. Senyuman hangat yang mengelus wajah sang putri.
"Bukan Bapak, tapi kamu harus ngerti dengan apa yang sedang terjadi di sekitar kita sekarang. Di tetangga kanan kiri kita. Di masyarakat kita. Di negara kita. Bapak itu cuman kebawa arus saja. Apa yang dia bilang ke kamu barusan, adalah apa yang dibilang orang-orang di kantor kepada Bapak."
"Nduk, kamu pasti udah ngerti sedikit-sedikit kalo Ibu ngobrol soal politik. Paling ndak kamu ngerti kalo sebentar lagi negara kita ini mau coblosan. Ibu ndak mudeng soal partai partaian. Ibu juga belom tau nanti mau milih sopo. Wong kampanye di tivi saja belom mulai kok. Tapi diluar sana, semua orang sepertinya sudah mulai membuat jurang pemisah, antara pendukung satu dengan yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline