Hampir sudah seminggu belakangan ini pemberitaan di berbagai media massa dihebohkan oleh kasus dan polemik yang bersinggungan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di antaranya adalah kasus bentrokan antar kubu dalam pesta politik, kriminalisasi terhadap aktivis, penyelewengan wewenang oleh aparat, rancangan undang-undang kontroversial, pidana koruptor yang minim, serta kriminalisasi terhadap penduduk sipil di daerah. Semua berita yang tersiar tentu saja membuat semua orang bahkan yang awam sekalipun jengkel atas apa yang terjadi belakangan ini.
Dari serangkaian kejadian menghebohkan ini jelas telah sampai juga ke kuping para ikhwan mistis. Selaku mahasiswa yang mendapat mandat sebagai "watch dog" atas jalannya pemerintahan para ikhwan mistis sudah cukup lama memang memantau gerak gerik dan naik turunnya kondisi negara dan bangsa mereka, tentunya sambil mengawasi pergerakan akhwat di kampus.
Namun, dalam hal negara dan bangsa ikhwan mistis tidak bisa menomorduakannya, bahkan prinsip "lone ranger, lone lover" sudah mengakar dalam pikiran mereka sebagai ide dan visi hidup.
Rasa cinta mereka terhadap stabilnya kehidupan berbangsa dan bernegara bisa dibilang lebih besar dari rasa cinta terhadap mendapatkan pujaan hati.
Konsekuensi tersebut mereka ambil karena sejarah telah membuktikan bahwa generasi pra kemerdekaan pun rela hidup dalam kesunyian dan penderitaan agar mereka kini bisa dengan mudah tunggang langgang di tanah yang bebas dari perbudakan dan penjajahan. Perjuangan mereka dibandingkan para "founding fathers dan mothers" tidak sebanding.
Para ikhwan mistis sebagai agent of public discourse dan sekaligus pendiklat generasi literate dan atraktif atau disingkat "Pengen Liat" kukuh dengan pendiriannya untuk menjaga marwah dan kesjahteraan bagi umat, walaupun dalam sekup dan jangkauan yang minimal. Hal yang terjadi membuat mereka kemudian menyelenggarakan sebuah diskusi publik untuk melihat fenomena ganjil yang kini tengah meresahkan masyarakat.
Diskusi publik tersebut digagas secara sederhana dan konsep yang egaliter, dalam artian setiap pihak yang hadir boleh berpendapat, dan sebagai keynote speaker adalah Yai Izan dan Bursh selaku pimpinan dari ikhwan mistis.
Peserta yang hadir sore itu tidak banyak, namun cukup untuk meramaikan diskusi yang akan diselenggarakan. Hal ini tentu tak lepas dari peran ikhwan mistis lain yang secara simultan saling melakukan pemberitahuan di berbagai media sosial soal diskusi kali ini.
Bahkan Wahyu, Dede, dan Ical sampai rela merogoh kocek sekian banyak untuk mencetak selebaran diskusi ini dan lantas membagikannya di gerbang, kantin, dan lorong-lorong kampus.
Bertindak sebagai moderator adalah Bale karena dipandang telah cukup juga mendalami topik bahasan diskusi yang bertajuk "Negara terombang ambing, bagaimana peran intelektual?". Tema ini di angkat atas keresahan para ikhwan mistis yang justru melakukan otokritik terhadap diri mereka sendiri sebagai mahasiswa yang notabene digolongkan oleh awam sebagai intelektual dan tentu saja para intelektual kelas kakap, hiu, buyur, engkang-engkang, bahkan paus.