Lihat ke Halaman Asli

Rahman Wahid

TERVERIFIKASI

Mahasiswa

Puisi | Ketaksaan

Diperbarui: 19 April 2020   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Pixabay/mskathrynne

Linglung, bingung jalan menikung. Torehkan renung jadi murung. Gusar lalui senang, kenang. Cucuran peluh basahi tubuh, lumatkan asa hingga binasa. Pendirian termangu belenggu, terbiaskan arah langkah, lintasan bercabang. Memilih dengan lirih, seolah kuasa tercerabut dari semesta, menarik, menyudutkan opsi.

Perjalanan cepat terhenti, lambat bergerak. Melaju pada arena tabu, merangkak tertatih-tatih serba kesulitan. Kehendak nyaris sirna dimakan realita, tergulung ombak takdir kenyataan. Soal keinginan hanya sketsa bisa dirancang, eksekusi tugas nasib menentukan. Menjarakan pada tujuan utama, atau menyeleweng beda target.

Lontaran gugatan mengangkasa, mengutuk takdir yang pandir, menggerutu memburu sebuah keadilan, kenyataan di posisi nir kebajikan. Tunggang langgang, terbakar amarah, terbirit-birit tersapu topan gelisah. Serba tidak menentukan, bias kepastian. Mengerang pedih dalam kedap ketidakpedulian, meracau galau dalam kacau balau.

Pertikaian batiniah bergejolak penuh kengerian. Konflik hitam putih mengguratkan banyak goresan luka dalam jiwa. Semburat kepiluan nampak dari tatapan nanar, badan yang kering, lunglai. Keriput muncul merintangi wajah, membentuk patahan, kentara pertanda duka lara, beri sinyal ringkih terkoyak ketaksaan.

Relung meraung menggerung, sapu diri dari duri. Pintu usaha menderit perlahan, beri impresi ngeri. Susah payah lolos rintangan alami, sengketa modal terhadap pailit. Nalar berantakan dengan kecemasan hari depan, tentang bertahan atau berantakan. Tanpa pilihan mujur, dua konsekuensi sepaket derita, bagaimanakah?   




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline