Lihat ke Halaman Asli

Rahman Wahid

TERVERIFIKASI

Mahasiswa

Romantisisme dalam Hegemoni Digitalisasi

Diperbarui: 4 Februari 2020   18:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Pixabay/Victoria_Borodinova

Mencintai sudah menjadi hal ihwal yang membentuk kesejatian seorang manusia. Mencintai bukan sekedar perihal mempunyai pasangan, tetapi soal kemampuan untuk membagikan perasaan kepada sesama. Seperti yang dikatakan oleh Erich Fromm bahwa mencintai itu adalah hal yang mudah, tetapi yang sulit itu menemukan objek dari cinta itu sendiri.

Kata mencintai biasanya kemudian akan menggiring kita kepada perjalanan cinta. Banyak orang akan menagih satu hal penting jika seseorang sudah dinyatakan mencinta. Ya, itu adalah sifat romantis.

Hampir semua orang dalam kegiatan cinta mencinta selalu berharap untuk dilingkupi oleh aura romantis. Sehingga dalam definisi saya bisa dikatakan bahwa orang cenderung menganut aliran romantisisme dalam hubungannya.

Romantisisme sendiri merupakan sebuah aliran yang menginginkan hubungan secara mesra dan mengasyikan serta mendayagunakan perasaan, pikiran, dan spontanitas dalam balutan cinta yang harmonis. Maka tak heran, jika melihat definisi romantisisme seperti itu, akhirnya orang menjadi keranjingan untuk selalu berada dalam hubungan cinta yang romantis.

Hal yang terjadi dari romantisisme masa kini adalah adanya pengaruh besar dari modernisasi. Modernisasi secara nyata kita perlu akui bersama telah banyak merubah pola perilaku masyarakat dalam menjalani kehidupannya. Baik itu perubahan dalam aspek ekonomi, sosial, politik, maupun psikologis, dan termasuk juga tentang romantisisme.

Salah satu ranah yang bersinggungan keras dengan perubahan dalam pola romantisisme salah satunya yaitu digitalisasi. Betapa kita paham bahwa hampir semua kegiatan dan kebutuhan manusia di muka bumi saat ini sudah dikonversi menjadi bentuk digital. Misalnya percakapan, pekerjaan, peralatan sudah ada bentuk digitalnya.

Romantisisme dan urusan mencintai merupakan hal lain yang juga prosesnya sudah mulai di digitalisasi. Kita mungkin tidak akan heran jika diberbagai platform sosial media, tulisan, gambar atau video yang bermuatan cinta selalu laris manis diburu orang. Perihal cinta, hampir setiap orang akan selalu menyukainya, entah itu dalam bentuk fisik maupun digital.

Dalam proses digitalisasi cinta tentu membuat proses mencintanya juga menjadi lebih efektif dan efisien sesuai dengan prinsip digital itu sendiri. Contoh kasus misalnya ketika hendak menyatakan cinta kepada seseorang. Zaman dahulu mungkin ungkapan mau tidak mau harus dilakukan secara tatap muka oleh si penyampai, atau bisa pula secara tidak langsung menggunakan surat.

Lantas apa yang membedakan hal itu dengan proses digitalisasi yang terjadi dewasa ini? Perbedaan yang mencolok adalah pada zaman dulu kemampuan seseorang dalam mengobral cintanya bisa lebih diminimalisir, hal ini karena medium penyampai cinta itu sendiri terbatas, jika tidak secara langsung ya harus menggunakan surat, dan tentu bila menggunakan surat pun tidak mudah, karena prosesnya yang lama untuk sampai pula.

Berbeda dengan sekarang, medium penghantar cinta saat ini bisa dikatakan konduktor paling sempurna. Ia secepat kilat mampu menyampaikan perasaan dari satu orang ke orang lain hanya dalam tempo sepersekian detik. Ini berdampak pada membludaknya kuantitas cinta yang dapat diberikan, tetapi tak jarang hal itu tidak sebanding dengan kualitas dan kesungguhan dari cintanya itu sendiri.

Kita mungkin bisa bersepakat bahwa cinta dalam hegemoni digitalisasi merupakan barang murah dan seolah tidak seagung dari esensi cinta yang sejati. Cinta menjadi terlalu ringan diucapkan, dan romantisisme terlalu menjadi candu bagi masyarakat dewasa ini, apalagi bagi kalangan remaja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline