Lihat ke Halaman Asli

Rahman Wahid

TERVERIFIKASI

Mahasiswa

Kisah Kardun: Tuna Asmara dalam Kelambu

Diperbarui: 28 Maret 2019   07:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Pixabay/Life-Of-Pix

Pada setiap jejak langkah yang dilalui oleh Kardun, ia kerap kali merasa gundah. Ekspektasinya dalam menjalani hidup yang lancar dan tanpa hambatan kini seolah merupakan utopia semata. Fakta lika-liku hidup penuh permasalahan membuatnya berfikir kembali akan ekspektasi awalnya. Ia di hadapkan pada berbagai macam kontradiksi.

Sesampainya di rumah, segera ia menggeletakan diri di teras "Assalamualaikum" Lirihnya. Tampak sekali bagaimana ia begitu kelelahan, secara fisik, secara batin. Ibunya keluar dari rumah, ia terhenyak melihat anaknya yang selonjoran di teras "Waalaikumsalam, Eh eh, ngapain kamu malah selonjoran di teras, kotor Dun!". Kardun tidak menjawab, ia hanya melihat ke arah ibunya sambil tersenyum. "Malah senyam-senyum, cepet bangun, kotor, belum ibu pel terasnya!" Nada suara ibunya terdengar mulai meninggi.

Kardun kemudian bangkit "Cape mah duh" gumamnya. "Yaudah sono gih makan dulu" Ujar ibunya. Ia berjalan ke dalam rumah dengan menunjukan keletihannya. 

Rumah Kardun, terletak di Desa Cilamea, jaraknya sekitar 12 kilometer dari pusat kota. Ukuran rumahnya tidak besar, layaknya rumah masyarakat ekonomi menengah ke bawah lainnya. Terdapat dua kamar, satu ruang utama yang disulap menjadi ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang makan sekaligus. Sedangkan toilet dan dapur terletak setelah ruang utama.

Kursi yang ada nampak sudah lapuk, dan busanya tak lagi seempuk dulu. Tirai terlihat lusuh, sepertinya sudah lama belum lagi dicuci. Tidak terlalu banyak perabotan di dalamnya, sehingga meskipun kecil, rumah itu terasa cukup lengang dan tidak membuat sumpek. Bagi Kardun sendiri, rumahnya adalah tempat pulang paling dirindukan. Segala kenyamanannya sudah mendarah daging dalam diri Kardun.

Makanan yang ada di dapur seketika habis di lahap Kardun, ia makan dengan cepatnya, kemudian mengunci diri di kamarnya. Ia menghempaskan badannya. Jatuh ke dalam keempukan kasur. Ia percaya dengan begitu, ia juga akan secara bersamaan menghempaskan seluruh masalah yang tengah menyelimuti dirinya. Namun tentu saja itu hanya sebuah angan yang tak mungkin terjadi.

Pikiran Kardun diselimuti beragam macam problema. Apalagi soal perkataan teman-temannya yang terkadang menusuk batinnya. Misalnya saat pembahasan mengenai cinta minggu lalu. Ia dianggap banyak bacot, mereka menuding ucapan Kardun tak bermakna dengan dalih bahwa tuna asmara yang bertutur romansa itu layaknya seorang tukang cukur disuruh bikin es goyobod, tidak nyambung.

Kardun berpikir kembali, benarkah urusan cinta hanya boleh dikatakan oleh mereka yang berpacaran atau menikah? Nalarnya menggugat, ia jelas tidak setuju dengan konsepsi macam itu. Ingin rasanya ia mendebat, mempertentangkan, bahkan menelanjangi konsep dari teman-temannya itu. Namun Kardun kelihatannya sadar posisi. Ia kalah pressure dari mereka, dan ia tahu jika dipermasalahkan lebih jauh, itu akan membuat dirinya terjerambab dalam permasalahan yang lebih kompleks.

Ia masih terlalu takut untuk bisa melawan. Mentalnya belum kuat. Kardun memang memiliki segudang pemikiran yang luar biasa progresif, tapi lagi-lagi ia dihadapkan pada posisi dimana ia tidak mampu melawan. Secara ekstrinsik ia terhambat hegemoni, secara intrinsik ia terganjal krisis keberanian. Hal ini yang menyebabkan Kardun saat ini terkadang sering menyimpan beragam gagasannya. Ia teringat masalah yang diakibatkan oleh sikap frontalnya dulu. Tetapi Kardun kerap juga lepas kontrol, jika memang sudah gemes, tetap saja ia sampaikan pandangannya.

Memang ia tidak bisa bersuara bebas, ia terhalang oleh berbagai hambatan yang ada di hadapannya, ia tertutup kelambu. Di dalam kamar, ia terkulai lemas, menatap langit-langit, membayangkan sebuah tempat dimana ia bisa berkata apa saja, tanpa ada yang melarang, tanpa ada yang menghakimi. Ia mendamba sebuah forum dimana semua orang bebas berbicara, saling bertukar gagasan. "Bisa nggak yah?" Pikirnya dalam hati.

Kardun jelas ingin merdeka. Ia ingin hidup di dalam alam demokrasi yang seutuhnya. Tidak terjebak dalam represifitas macam begini. Mengungkung dirinya dalam kejumudan, memenjarakan pemikirannya. Lama ia berpikir, letih matanya melihat ketidakpastian, lesu akalnya memikirkan ketidakberesan, melemahkan kondisi tubuhnya untuk sejenak beristirahat, menenggelamkan dirinya dalam rasa tenang yang hakiki, tidur.  




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline