Guru memegang peranan yang penting dalam sistem pendidikan. Guru sebagai pendidik tentu perlu menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional agar tercipta suatu proses pendidikan yang dapat mengembangkan minat dan bakat peserta didik. Hal lain yang tak kalah penting adalah bagaimana seorang guru dapat membawa peserta didik agar menjadi manusia yang cerdas, berkepribadian luhur serta bermanfaat bagi orang lain.
Sebagai upaya pembentukan peserta didik yang cerdas, maka ada beberapa serangkaian proses yang perlu ditempuh oleh guru. Guru perlu mempertimbangkan dan merencanakan desain pembelajaran dengan matang terkait itu metode pembelajaran, media pembelajaran, teknik pembelajaran sampai memberikan penilaian terhadap kinerja peserta didik selama proses pembelajaran.
Dalam memberikan penilaian yang baik atas kinerja peserta didik dalam pembelajaran, guru tentu perlu meninjaunya dari berbagai aspek, baik itu dalam ranah kognitif, afektif maupun psikomotor peserta didik. Dalam memberikan penilaian juga, guru perlu memgang prinsip objektif dan adil.
Objektif berarti dalam memberikan penilaian guru melihat dari fakta dan data di lapangan tanpa ada intervensi dari pihak manapun, serta tanpa ada politik kepentingan didalamnya. Adil sendiri bermakna proposional yang artinya bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Guru yang profesional menjadikan prinsip objektif dan adil tadi sebagai landasan dalam menentukan sikap dan menilai kinerja peserta didik. Independensi dan kebijaksanaan seorang guru juga menjadi pondasi kokoh bagi guru yang ingin menjadikan objektif dan adil sebagai prinsip penilaiannya.
Sering kali kita melihat guru yang menilai tidak secara objektif. Kecenderungan tersebut dapat hadir disebabkan beberapa faktor yang bersifat subjektif, bukan tidak benar menilai secara subjektif, hanya saja kebanyakan penilaian subjektif kerap kali dilandasi oleh hal yang tidak ada kaitannya dengan kinerja peserta didik dalam proses pembelajaran.
Ada contoh kasus peserta didik yang mendapat nilai tinggi, padahal kenyatannya di lapangan belum pantas untuk diberikan nilai tinggi, baik itu dari segi kognitif, afektif maupun psikomotornya. Lantas mengapa guru tadi tetap memberikan nilai tinggi ? rupanya ada faktor lain yang melandasinya, mulai dari kedekatan dengan orang tua, faktor anak seorang pejabat, anak atasan, sampai anak rekan bisnisnya!.
Contoh lain yang rekan penulis sendiri ceritakan adalah ketika seorang guru memberikan nilai yang rendah bukan berdasarkan lemah atau bobrok kognitif, afektif atau psikomotornya. Ia mendapat nilai rendah hanya karena tidak membeli buku yang disarankan oleh gurunya. Ironisnya padahal dilihat dari aspek kognitif, afektif dan psikomotor bisa dibilang ia cukup unggul. Penulis rasa bukan suatu tindakan pembangkangan ketika tidak membeli buku tersebut. Penulis rasa juga tidaklah pantas jika hanya karena tidak membeli buku yang menjadi alasan, dan lantas guru tadi tega memberikan nilai rendah kepada mereka yang tidak membelinya.
Kasus diatas menandakan bahwa masih adanya guru yang berpikiran sempit dan dangkal dalam memberikan penilaian terhadap peserta didiknya. Penilaian hanya dipandang sebagai lahan pelampiasan ego dan hawa nafsu tanpa adanya pertimbangan yang matang dalam memberikan penilaiannya.
Menilai itu ya harus objektif dan adil. Tidak bisa seorang guru hanya mengedepankan egonya semata. Penilaian tadi tentunya dapat berdampak besar terhadap peserta didik yang menerimanya. Tentu rasa kecewa, dikhianati dan kehilangan motivasi akan ada dalam benak peserta didik karena tidak mendapatkan suatu keadilan dari gurunya.
Memang itu hanyalah sebuah nilai yang belum tentu dapat menentukan arah dan masa depan peserta didik, namun poin pentingnya adalah ada pada objektifitas dari penilaiannya. Jika nilai rendah tadi sepadan dengan kinerja peserta didik yang malas dalam belajar, pasif dikelas serta sering membuat keonaran, penulis rasa nilai rendah tadi memang pantas diberikan. It's okay wae lah!