Kemajuan pembangunan nasional di negeri ini makin hari makin baik saja, apalagi di kota - kota besar, segala infrastruktur pelayanan publik tersedia dengan lengkap, sekolah, rumah sakit, supermarket, jalan, apartemen, dan tempat wisata kian menjamur tentunya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Upaya tersebut memang menjadi salah satu fokus utama pemerintah dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dalam rangka membangun tatanan masyarakat yang maju. Kita memahami dalam mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang maju perlu melewati serangkaian proses yang panjang didalamnya.
Pun dalam pelaksanaannya upaya tersebut perlu dikelola secara adil dan jujur agar pembangunan nasional tadi dapat dirasakan oleh setiap daerah di nusantara ini secara merata.
Cita - cita pembangunan nasional diatas nampaknya masih jauh dan belum dirasakan oleh warga kampung Legok Pego. Ya, Legok Pego kampung kecil di kawasan perbukitan yang tepatnya terletak di Desa Drawati, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung. Berjarak sekitar 45 kilometer dari Soreang, pusat Kabupaten Bandung. Terlalu jauh kita bicara tentang pembangunan nasional dengan segala infrastrukturnya ketika berada di kampung ini.
Bermula dari program pengabdian pada masyarakat yang diprakarsai oleh BEM UPI Kampus Cibiru, penulis dan rekan lainnya berangkat menuju kampung Legok Pego untuk melaksanakan kegiatan bakti sosial selama 3 hari, mengingat laporan hasil survey dari beberapa panitia yang menyatakan kondisi disana sangat memprihatinkan dan terasingkan dari dunia luar.
Terhitung sejak 24 November tepatnya penulis beserta rombongan berangkat menuju lokasi, dengan jarak yang hanya 20 kilometer dari kampus, belum lagi ditempuh menggunakan truk maka waktu yang diperlukan tak lebih dari 45 menit. Perjalanan melewati jalur Cicalengka - Cijapati ditempuh hanya sekitar 10 menit, ditambah dengan suasana sejuk diperjalanan membuat hati tenang dan rileks, sejenak melepas hiruk pikuk perkotaan yang sumpek juga tugas kuliah yang menumpuk.
Kurang lebih 2 kilometer sebelum mencapai lokasi kegiatan, sontak semua orang dibuat kaget dan was - was ketika truk yang ditumpangi dihadapkan pada jalan panjang menanjak, rusak serta berbatu dengan kemiringan hampir 70 derajat!. Walah!. Lantas semuanya berdoa seraya meminta pertolongan kepada sang maha kuasa agar truk yang kami tumpangi diberi kekuatan dan ketegaran untuk melewati ujian mengahadang didepan mata ini.
Melewati 5 menit antara hidup dan mati, akhirnya truk berhasil melewati jalan terjal tadi. Kedatangan kami disambut oleh senyuman warga sekitar yang ramah. Kesan pertama kali melihat kampung ini adalah takjub, bagaimana tidak, pemandangan dari atas awan yang begitu memanjakan mata, menikmati karya indah sang pencipta membuat hati larut dalam suasana tentram.
Kesan kedua tentu saja sedih. Ya, sedih karena kondisi di kampung ini berbanding terbalik dengan apa yang penulis rasakan di perkotaan. Kampung yang dihuni sekitar 100 Kepala keluarga ini amat sulit mendapatkan akses pelayanan publik, hanya ada 1 sekolah dasar dan beberapa masjid. Tak ada puskesmas, PAUD, TK, lampu jalan, supermarket apalagi mengarapkan bioskop dan tempat dugem!. Lah, itu dana desa kemana larinya atuh ?.
Hari pertama penulis habiskan dengan berkeliling dan menikmati suasana sejuk di sekitar kampung sambil sesekali mencari sinyal internet, beberapa lainnya berselfie ria mengingat pemandangannya yang indah. Anak - anak begitu antusias mengikuti kegiatan - kegiatan yang kami laksanakan disana, berlarian kesana kemari dan tertawa.
Puas berkeliling dan mendengar tawa lepas anak - anak, penulis rasakan kesulitan yang mendalam dialami oleh warga disana, dari segi pelayanan publik sudah jelas serba tidak ada, dari segi pendidikan juga jelas tidak memadai, hanya ada 1 sekolah dasar, belum lagi jumlah kelas yang hanya 3, rusak pula, jumlah guru hanya 6 dan itupun berasal dari luar kampung. Dapat kita bayangkan perjuangan mereka untuk dapat mengajar dengan melewati tanjakan terjal tadi setiap harinya!. Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru.