Lihat ke Halaman Asli

Seikhlas Enong, Setegar Lintang

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setiap dari kita mungkin pernah berfikir, mengapa tuhan tak adil. Mengapa setiap usaha seperti tak berbanding lurus dengan hasil. Mengapa yang menanam tak tentu yang menuai hasil.
Sejak sekolah kita mungkin pernah mengalami hal demikian. Mengapa kita yang belajar mati- matian, tak bisa mendapat skor setinggi seorang teman yang baru menyadari ada ulangan namun tetap mendapatkan nilai sempurna.

Saat kuliah, juga bisa jadi terulang kembali. Mengapa teman yang tak begitu cemerlang dan biasa- biasa saja, bisa dengan mudah menyelesaikan skripsinya. Mengapa dia bisa begitu beruntung mendapatkan dosen yang baik hati, sementara kita yang sudah semangat 45 mengerjakan skripsi, tertunda berbulan- bulan atau bahkan bertahun- tahun hanya karena tak seberuntung mereka.

Selepas kuliah, hal serupa juga masih sangat berkemungkinan lagi dalam hal mencari pekerjaan. Atau mungkin juga untuk sebagian kasus lain, seperti dalam hal menjemput jodoh dan sebagainya.
Terkadang kita juga berfikir, atau setidaknya saya, mengapa bukan si pemalas saja yang seharusnya tak beruntung. Mengapa bukan yang giat dan memiliki tekad saja yang berhasil dan beruntung.

However that’s life. Seandainya saja semua orang ditakdirkan sesederhana itu, mungkin saja cerita Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tak akan begitu adanya. Lintang, salah seorang sahabat Ikal di SD Muhammadiyah, dengan demikian bisa saja bunuh diri karena bakal merasa tak mendapatkan “jatah” yang seharusnya.

Mengapa tidak? Lintang nyata ada sebagai seorang anak yang jenius dan cemerlang dalam sains, dalam dunia eksakta. Sejak kecil semangatnya tinggi untuk belajar, dan cintanya pada belajar menyala berapi- api. Untuk bisa sampai sekolah setiap harinya, Lintang harus lantang- pukang mengayuh sepedanya berkilometer jauhnya dan sesekali bertemu dengan buaya yang siap menerkam kapan saja. Lintang dan dua temannya termasuk Ikal, pun terbukti memenangkan lomba cerdas cermat berkat hitungannya yang tepat tak meleset sama sekali.

Namun apa yang terjadi? Apakah cerita berakhir sesederhana sebagaimana konsep tanam- tuai versi manusia? Ternyata tidak. Lintang sebagai anak lelaki tertua, harus menelan pahit kenyataan bahwa ayahnya yang seorang nelayan meninggal dalam perjalanannya menjemput nafkah. Maka Lintang, harus terpaksa putus sekolah demi mengurus dan membiayai adik- adiknya, dan ternyata bisa.

Lintang tetap tegar, karena mau tidak mau, terima tidak terima, memang itulah kondisi yang dihadapi. Dia tidak menyalahkan tuhan, tidak menanyakan mengapa harus dia yang bernasib demikian. Mengapa tidak Mahar atau teman lainnya saja yang bernasib begitu, toh mereka tak secerdas Lintang dalam belajar.

Juga dalam kisah lain Andrea—dalam buku Cinta dalam Gelas—diceritakan pula tentang Enong, seorang gadis kecil yang terpaksa berhenti sekolah karena ayahnya, Zamzani, meninggal saat mendulang timah. Enong yang cinta setengah mati pada pelajaran Bahasa Inggris, terpaksa menelan pahit kenyataan bahwa dia tak bisa lagi meneruskan kecintaannya untuk belajar pada akhirnya. Enong tak bernasib lebih baik dari Lintang, dia menjadi wanita pendulang timah pertama di Belitong pada saat itu. Semua dilakukannya demi menghidupi adik- adiknya.

Lantas tidak adilkah semua jalan cerita Tuhan?
Sungguh kebenaran hikmah yang memang cukup berat untuk diaminkan. Namun kita harus percaya, bahwa tak akan pernah ada yang salah dengan jalan ceritaNya. Kalau saja Enong dan Lintang tetap melanjutkan sekolah, belum tentu semua akan seindah bayangan mereka.

Memang benar bahwa ada sebagian orang yang diamanahi ilmu oleh tuhan, sekaligus diberikan kesempatan untuk dapat mengembangkannya. Namun perlu kita sadari bahwa ada pula yang bernasib sebaliknya. Masing- masing dengan jalan sebab dan akibatnya sendiri, entah karena biaya, keadaan, restu orang tua, norma, dan sebagainya. Namun kita harus percaya, selagi kita sudah melakukan yang terbaik dan berdoa sekeras yang kita bisa, sisanya adalah hak tuhan sepenuhnya. Hasil bukan ada pada wewenang kita. Berat memang, namun insyAllah bisa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline