Lihat ke Halaman Asli

Tenggelamnya Louis Van Gaal

Diperbarui: 24 Mei 2016   15:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: rangado.hu

Ingin sekali rasanya membayangkan bagaimana ekspresi Louis Van Gaal ketika menerima surat pemecatan dari manajemen Manchester United. Yang jelas, hal itu bukanlah hal yag menggembirakan, melainkan seperti serangan kekhawatiran bertubi-tubi yang akhirnya masuk menembus jala kenyataan. Seperti itulah mungkin bagaimana LVG merasakannya.

Lebih ironisnya, surat perpisahan itu ditulis oleh sang kekasih hanya beberapa jam setelah azimat piala FA Cup ia berikan kepada sang pujaan hati. Ya, sekejam inilah Liga Inggris. Ketika segenap pucuk pengharapan seorang LVG, pelatih dengan ideaisme total football ala ‘kompeni’ telah dipatahkan oleh tim yang bermarkas di Old Trafford yang penuh dengan adat. Mungkin setelah ini, Si Tulip Besi memilih berlayar ke Batavia, bersama Ryan Giggs atau Fellaini asisten setianya, untuk menulis di kolom-kolom surat kabar nasional tentang perjalanan hidupnya. Sebelum akhirnya tenggelam bersama Van Der Wijck.

Tampaknya sepeninggalan Sir Alex Ferguson, Manchester United seperti tim yang kehilangan daya magisnya. Tekanan dari media dan juga (terutama) fans harus mendepak David Moyes yang belum genap 1 dari 6 musim kontrak untuk menduduki kursi yang ditinggalkan oleh Sir Alex. Ryan Giggs pun sempat ditunjuk sebagai pelatih sementara, sebelum akhirnya LVG datang dengan harapan menjadi juru selamat bagi tim pemilik 20 trophy Liga Inggris itu. Harapan begitu besar tampak sangat nyata dengan nama besarnya. Tak pelak, banyak yang berekspektasi begitu besar terhadap LVG untuk kembali memanaskan bursa juara liga Inggris di musim-musim berikutnya.

Namun sepertinya, nafsu penggemar dan sarkasme khas media Inggris memang sulit dibendung, bahkan oleh seorang pelatih sekelas Louis Van Gaal sekalipun. Transisi senilai 250 Juta Pounds dan juga kebijakannya mendepak pemain-pemain utama seperti Robin Van Persie, Javier Hernandez, Angel Di Maria, dan juga Danny Welbeck, menjadikannya sorotan utama dalam setiap ketidakpuasan akan hasil pertandingan. Puncaknya adalah kekalahan Manchester United ketika bertandang ke Wolfsburg pada kompetisi kasta teringgi Eropa.

Media dan fans menyerang LVG membabi buta, baik itu di media cetak, nasional, maupun media sosial. menjustifikasi LVG sebagai pelatih yang hanya meghambur-hamburkan uang tanpa memberikan hasil yang jelas kepada tim. Kalau di Indonesia, LVG mungkin sudah dipanggil KPK untuk memberikan keterangan akan laporan dugaan penyalahgunaan anggaran, diperiksa berjam-jam lamanya sebelum akhirnya keluar untuk memberikan statement-statement diplomatis untuk mengambangkan situasi sebenarnya.

Sindiran dan nyinyiran terus berdatangan dari segala penjuru Old Trafford. Bahkan di sisa-sisa terakhir musim kompetisi. Dukungan moral tampaknya hal yang terlalu berharga, bahkan hingga akhir musim kemarin, ketika sukses membungkam Crystal Palace dan meraih gelar juara FA Cup untuk ke-12 kalinya menyamai rekor Arsenal, prestasi itu seperti tidak sanggup membayar kekecewaan para suporter dan manajemen Manchester United sendiri. Bahkan isu-isu mengenai pendekatan Manchester United kepada eks-manejer Chelsea, Jose Mourinho telah bertebaran sebelum laga pamungkas final FA Cup di Wembley Stadium.

Mungkin sekarang, Louis Van Gaal sedang berkemas. bersiap untuk meninggalkan Manchester. Entah siapa yang akan ikut dengan dia hengkang nantinya. Namun hal seperti itu mungkin bukan lagi sebuah kejutan, mengingat suksesornya adalah tokoh fenomenal yang telah terbukti dengan investasi besar Abramovic berhasil membawa nama The Blues menjadi salah satu nama klub keseblasan yang diperhitungkan hingga kancah Eropa. Bahkan ketika menangani Portom Inter Milan, Real Madrid, balik lagi ke Chelsea hingga akhirnya dipecat, kontroversi dan sorotan media seakan tak pernah lepas dari setiap kuotasi-kuotasi bercita rasa psy war pelatih satu ini.

Namun yang pasti, Louis Van Gaal hanyalah korban dari hawa nafsu. Bagaimana tanpa perasaan fans, media dan manajamen klub yang terlalu haus akan gelar bergengsi, kontroversi dan bully-bully terhadap fans lawan di media sosial mencabuli konsep “dibawah umur” yang dibawa oleh Van Gaal dengan mengesampingkan faktor utama dari sebuah proses transisi hingga “cukup umur”, sehingga mereka cenderung lebih fokus pada tujuan utama, daripada permainan khas dengan gaya dan juga menjalani pahit manis sebuah kompetisi. Apabila memang itu keinginannya, maka sudah pantaslah mereka menjadi sebuah “Terminal Bus Red Devil”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline