Lihat ke Halaman Asli

Mengintip Rumus "Gila" Belajar Einstein, By @RahmanPatiwi

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1423581972932521816

[caption id="attachment_350441" align="aligncenter" width="669" caption="Sumber Gambar: http://pening-pala.blogspot.com/2013/06/jangan-takut-buat-silap.html"][/caption]

Setiap kita tentu menginginkan anak bisa cerdas, apa lagi kalau kecerdasannya bisa mendekati atau bahkan menyetarai Einstein, sang sosok Jenius milik dunia. Kalau begitu mari kita intip dulu rumus belajar Einstein, sekaligus cara beliau mengajar/mendidik anaknya. Seperti apakah itu?

#1. BELAJAR = BERMAIN, DAN BERMAIN = BELAJAR

#2. MENGHAFAL BUKAN BELAJAR DAN BELAJAR BUKAN MENGHAFAL

Einstein selalu membimbing anaknya dengan melibatkan seluruh panca indranya dan tidak harus diam. Seperti saat menemani anak bermain balon udara, balon air, membuat pesawat dari kertas, melempar batu ke air, bermain perahu dayung dan lain sebagainya.Dari sanalah Einstein lalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan kecil yang hangat, persuasif, dan stimulatif.

Hal itu terkait, mengapa ini bisa, mengapa itu tak bisa. Mengapa ini cepat, mengapa itu lambat. Mengapa ini berhasil dan mengapa itu gagal, dan lain sebagainya. Buntutnya, anakpun semakin kegirangan bertanya, dan Einstein pun semakin semangat menjawab, klop dah. Iapun selalu mengajarkan akan prinsip The Reason Behind, alias motivasi prinsip yang melandasi dibalik setiap tindakan, sebelum segala sesuatunya benar-benar dilakukan anak.

Sayangnya metode itu kerap dianggab jadul oleh sebagian guru maupun orang tua. Atau boleh jadi juga tidak faham, sehingga terus meraba-raba. Padahal yang namanya meraba-raba memang ada baiknya meski seringkali banyak mudaratnya. Hehehe… Alhasil, merekapun lebih suka membuat rumus tersendiri. Seperti apakah itu?

#1. BERMAIN BUKAN BELAJAR, DAN BELAJAR TAK BOLEH SAMBIL BERMAIN

#2. MENGHAFAL = BELAJAR, DAN BELAJAR = MENGHAFAL

Inilah prinsip yang dipakai oleh sebagian besar guru maupun ortu. Karena sepintas rumus kedua ini nampak begitu berbobot, namun bagaimana outputnya?

Dalam buku “Sekolahnya Manusia” karya Munif Chatib. Disana dikutip Sebuah lembaga penelitian nasional yang dilakukan oleh Universitas Paramadina, Jakarta.Salah satu lembaga yang peduli tentangpendidikan di Indonesia.Hasil kesimpulan penelitiannya kemudian di publikasikan di majalah Mossaik edisi Mei 2004, cukup mencengangkan. Ia mengatakan bahwa, kualitaspendidikan di indonesia menempati urutan ke 102 dari 106 negara di Dunia.

Waoooo…. Benar-benar apa kata dunia… Perhatikanlah pula kualitas guru maupunpara Ortu kita saat ini. Apa respon mereka ketika ditanya oleh anak ataupun muridnya yang kritis? Apakah mereka se antusias Einstein dalam menjawab gempuran pertanyaan kritis dari anaknya?

Hmmm… Sering kali malah tidak. Bahkan boleh jadi ada Ortu maupun guru yang Justeru merasa “kebakaran jenggot”. Lalu sebagai kompensasi untuk menjaga martabat, maka keluarlah jurus pamungkas; “Hai…! Kecil-kecil sudah cerewet. Duduk…! Diam…! Dengar..! dan Tulis saja…!” Oh, My God..! Apa yang salahdengan output pendidikan kita yah…

Sebagai Praktisi Parenting dan Pemerhati Pendidikan, saya kerap menemukan fakta itu tidak hanya ada, tapi benar-benar banyak di lapangan. Pertanyaannya, Bagaimana jika seandainya mereka yang mendidik anak-anak kita? Apa pendapat anda? Hmmm… Mari kita renungkan….! Dan tetaplah berbenah Indonesiaku.

Terima Kasih, Semoga bermanfaat. Salam Metamorfosa…!.

Rahman Patiwi

Praktisi Parenting-Pendidikan.

Related Posts:

Banyak Tahu Mudah Sukses, Kata Siapa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline