Sebuah laporan masuk ke pemerintahan kota Augsburg di Jerman bagian tengah tentang kecelakaan lalu lintas dengan penyebab aneh. Tiga anak muda dihajar trem yang sedang melaju di tengah kota. Satu orang, gadis berumur 15 tahun, meregang nyawa setelah terlempar beberapa meter, sedangkan dua lainnya terluka parah.
Kecelakaan terjadi saat ketiga pejalan kaki itu menyeberang jalan dengan kepala tertunduk tanpa memperhatikan situasi lalu lintas. Kepala tertunduk itulah yang jadi penyebab kecelakaan.
Pun pemerintah kota Bodegraven di Belanda menghadapi masalah serupa. Mereka harus putar otak untuk mencegah kecelakaan lalu lintas yang disebakan oleh kebiasaan kepala tertunduk ini. Jika biasanya kecelakaan terjadi karena kendaraan di jalanan menabrak pejalan kaki, insiden yang satu ini terjadi justru karena orang-oranglah yang menabrak mobil. Bukan karena mereka mabuk (di seluruh dunia, alkohol menyebabkan 34% kecelakaan di jalan raya) melainkan karena perhatian mereka tertuju ke telepon pintar di tangan.
Alih-alih berdebat tentang dampak buruk telepon seluler, dua kota itu menawarkan solusi cerdas dengan membuat lampu penyeberangan tambahan yang dipasang di trotoar. Mereka berharap orang yang terus tertunduk memperhatikan teleponnya dapat melihat warna lampu lalu lintas.
Telepon genggam adalah teknologi yang merevolusi nyaris semua sisi kehidupan manusia. Penemuan telepon bergerak ini menjungkirbalikan cara hidup manusia secara drastis dalam tempo singkat dengan cara yang tidak pernah terbayangkan.
Sejak telepon genggam diperkenalkan oleh Motorola yang gagangnya segede gaban, kurang dari 49 tahun lalu, yang disusul dengan penemuan telepon versi canggihnya yang lumrah kita sebut telepon pintar, 20 tahun setelahnya (tentu saja kita tidak menafikan sumbangan perangkat lunak dan penemuan jaringan yang kini memasuki generasi ke lima) banyak yang telah berubah dan mendadak jadi usang dalam kehidupan sehari-hari kita.
Salah satunya, itu tadi, setiap saat kita sibuk dengan telepon di tangan dan tidak memperdulikan keadaan sekitar. Karena kebiasan dan kesibukan kita dengan telepon pintar itulah kemudian melahirkan istilah 'kaum kepala tertunduk' (ada juga yang dengan sangat sadis menyebutnya sebagai smombie -- smartphone zombie atau phubbing -- phone snubbing, cuek bebek dengan telepon) yang semuanya terdengar menyindir.
Terlepas dari perdebatan etis (dan juga medis) tentang dampak ikutan dari kehadiran teknologi ini (saat telepon rumah ditemukan satu setengah abad lalu, mereka yang khawatir dengan perubahan perilaku masyarakat yang maunya duduk di dekat telepon dan bicara berlama-lama dengan alat itu juga membuat frasa untuk mereka sebagai maniak telepon), aktivitas menundukan kepala itu, saat-saat ini, pada masa pandemi, makin meningkat dengan berbagain tujuan produktif, selain bersenang-senang demi mengakali pembatasan mobilitas.
Mari perhatikan data Digital 2021 yang dikeluarkan We Are Social dan HootSuit awal tahun ini. Pengguna internet di Indonesia Januari 2021 sebanya 202,6 juta, bertambah 27 juta atau naik 16% dibandingkan posisi yang sama tahun 2020. Terjemahan dari data ini adalah 73,7% penduduk Indonesia bisa mengakses internet (penetrasi internet). Bandingkan dengan rata-rata dunia yang hanya 59,5% atau Asia Tenggaran yang hanya 69%.
Januari 2021, ada 170 juta pengguna media sosial, naik 10 juta dibandingkan awal tahun 2021. Jumlah ini ekuivalen dengan 61,8% dari jumlah penduduk. Penggunan media sosial tertinggi di dunia yakni sebesar 79% dari jumlah penduduknya ada di negara Eropa Barat dan Utara. Bisa jadi Indonesia akan menjadi ibukota media sosial global jika melihat bahwa ada 345,3 juta sambungan telepon seluler/bergerak. Kok bisa jumlah sambungan telepon bergerak 125,6% dari jumlah penduduk? Artinya ada terdapat sejumlah orang yang memiliki sambungan seluler lebih dari satu.