Lihat ke Halaman Asli

GURU = Pahlawan?

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, barangkali memang bukan ungkapan yang pas untuk memberi julukan seorang guru. Pertama, aku yang cukup lama mengajar di SDIT, sebetapapun yang telah kulakukan dalam posisiku sebagai guru, tetap saja tak pernah merasa menjadi pahlawan. Dan lagi, aku sangsi bahwa suatu saat nanti di sekolah-sekolah akan ada yang memasang foto atau gambarku di tembok kelas, dibawahnya ditulisi dengan Rahman Hanifan; Pahlawan Pendidikan. Dan selama ini, aku juga belum pernah melihat gambar seorang tertentu yang ditempel begitu gegara kesetiaan dan pengorbanannya menjadi GURU.

Yang kedua, tidak jelas apa itu yang dimaksud dengan tanda jasa. Kalau tanda jasa diartikan sebagai gaji, maka jelas hampr semua guru sekarang bertanda jasa, apalagi yang PNS dan sertifikasi. Kalau tanda jasa yang dimaksud adalah hasil kerja dari para guru, maka jelas banyak tandanya. Ya anak-anak didik kita itulah tanda jasanya. Kalau disederhanakan boleh dilihat di buku rapot anak-anak, yang sekarang namanya bukan rapot lagi. Atau barangkali, tanda jasa yang dimaksud ya sebutan sebagai pahlawan itu sendiri?

Tapi terserahlah, mau disebut tanpa tanda jasa atau banyak tandanya, yang jelas tugas dan tanggung jawab seorang guru memang banyak. Gak cuma seabrek, tapi ribuan, atau bahkan jutaan abrek. Yang teknis saja misalnya, soal perencanaan, perlu bikin RPP, Program Semester, Program Tahunan, alat peraga dll. Kalau saja ada yang berius-rius (gak cuma serius maksudnya) jadi guru, persoalan bikin RPP itu saja sudah tugas yang butuh banyak waktu, kerja keras dan kerja cerdas. Guru yang baik hati, tidak sombong, bersahaja dan berjiwa pahlawan sejati, tentu gak akan cuma copy paste RPP orang terus diganti identitas sekolah, nama dan tanggalnya saja. Tapi benar-benar membuat perencanaan dalam bentuk RPP itu dengan sepenuh perjuangan.

Nah, itu saja sudah merupakan tugas yang lebih berat dari seorang penulis buku. Dari jumlah lembar, jelas RPP untuk satu tahun sudah menyaingi sebuah buku. Apa lagi sekedar teenlit atau chicklit. Kalau kita mau nulis buku, bebas, mau disusun seperti apa jalan pikiran kita, mau pakai bahasa macam mana, mau difokuskan kepada pembaca yang model apa, bebas. Tapi kalau bikin RPP, harus ngikut standar dari Dinas Pendidikan. Tidak bisa neko-neko, seperti pakai bahasa gaul segala, meski sesungguhnya kurang gaul. Dan lagi, RPP itu harus benar-benar dapat diterapkan dalam pembelajaran, oleh pembuatnya sendiri. Kalau nulis buku kan tidak. Yang penting nulis. Perkara tulisan dalam buku itu hanya bisa diaplikasikan orang lain, ya biar lah. Maka orang yang tak pernah sekalipun bersentuhan dengan dunia bisnis, bisa juga nulis tentang Kiat-kiat Usaha, atau Motovasi Bisnis Super Dahsyat. Padahal jualan tempe aja dia gak bisa…

Itu baru soal buat RPP, sebagian dari proses perencanaan pembelajaran, sudah nyaingin penulis buku. Belum tugas sesungguhnya, mendidik, membentuk karakter anak bangsa. Sungguh butuh perjuangan, keikhlasan dan segala bentuk pengorbanan. Termasuk korban perasaan pun seringkali dibutuhkan. Bagaimana tidak, karena saking capeknya raga, ruwetnya pikiran, keruhnya hati, perkara-perkara kecil bisa menimbulkan konflik antara satu guru dengan guru lainnya, bikin esmosi. Atau sudah capek-capek seharian ngurusin anak orang, sampai anak sendiri kadang kurang terurus, masih juga sering ada komplain dari orang tua murid bila ada hal-hal yang tidak diingini. Seperti kalau di rumah anak susah disuruh shalat, pengennya PSan melulu. Atau sepulang sekolah anak pergi entah ke mana dan gak pulang-pulang sampai Maghrib, yang jadi sasaran wadul toh gurunya juga. Emang tanggung jawab siapa?

Maka wajar bila belum lama ini beredar tulisan “Guru dibayar murah dituntut untuk memperbaiki karakter dan aklak anak-anak, sementara artis dibayar mahal untuk merusaknya.” Kalau ingat yang beginian, aku jadi mikir, sebaiknya aku mulai merencanakan untuk jadi artis saja. Bukan buat merusak karakter dan akhlak anak bangsa, tapi biar dibayar mahal. Ya siapa tahu kalau ternyata aku juga punya bakat ngartis. Kan belum pernah dicoba. Lagian tiap hari sudah belajar action yang neko-neko di depan anak-anak.

Tapi sebelum jadi artis beneran, aku dukung dulu lah program Pak Anies Baswedan. Dukung denga do’a aja lah. Meski program-program Mas Joko jelas-jelas gak jelas di sana-sini, tapi untuk program menterinya yang satu itu, jelas aku setuju. Itu pun masih terkhusus program peningkatan kesejahteraan dan menaikkan derajat guru. Lha aku juga belum tahu program-program lainnya. Moga saja beliau tidak terlupa atau lebih tepatnya disengaja lupa untuk melaksanakan programnya tersebut.

Hem.., sementara derajat belum naik dan kesejahteraan belum meningkat, ya mesti banyak bersabar dan menguat-nugatkan keikhlasan. Tapi toh aku masih merasa beruntunglah karena cuma jadi guru SD. Masih banyak hiburan lain untuk mengganti tiadanya kesejahteraan itu. Minimal untuk menghindari datangnya Sutriss, bisa ngusilin krucil-krucil yang nggemesinnya luar biasa sampe pengen aku gigit satu persatu itu. Anak-anak itu kan tidak pernah menaruh prasangka kalo diusilin. Pun kalau dengan terpaksa dimarahin, takkan menyimpan dendam lama-lama. Paling nanti atau besok juga minta bercanda-canda lagi. Ya, hiburan. Hehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline