Pilpres Amerika Serikat tahun ini dipastikan sengit. Dalam hitungan jam ke depan akan dipastikan siapa yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat periode 2021-2025. Dua partai terbesar di Amerika Serikat yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat telah mengusung kandidat calon presiden jagoan mereka setelah ditetapkan oleh konvensi masing-masing partai politik.
Partai Republik mejagokan kembali presiden incumbent Donald Trump untuk maju kedua kalinya dengan kandidat Wakil Presiden juga tetap yaitu Mike Pence.
Sementara itu, Partai Demokrat mengusung mantan Wakil Presiden di era Barack Obama, Joe Biden sebagai kandidat Presiden dan menariknya kandidat Wakil Presiden yang dipilih oleh Joe Biden adalah seorang politisi wanita multietnis yaitu Kamala Harris. Kedua kandidat beradu sengit mengingat keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda dalam berbagai hal salah satunya penanganan pandemic corona yang menerjang dunia saat ini.
Joe Biden menganggap Donald Trump tidak becus mengendalikan pandemic sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa 200.000 warga Amerika Serikat dan juga sikap Donald Trump yang meremehkan resiko kesehatan penyakit covid 19. Di sisi lain Donald Trump membela diri dengan menganggap lebih penting roda ekonomi dan bisnis tetap berjalan dan menentang kebijakan lockdown wilayah oleh Gubernur negara bagian yang justru dapat berhasil mengendalikan pandemic sesuai anjuran ahli epidemologi.
Pilpres Amerika Serikat 2020 diprediksi sengit seperti halnya Pilpres AS 2000 dimana kedua kandidat capres memiliki basis massa yang sama-sama kuat. Trump memiliki basis kuat di kalangan pengusaha dan pekerja kulit putih. Di sisi lain Biden memilik basis kuat di kalangan kulit hitam, hispanik dan anak-anak muda.
Senitimen rasial yang akhir-akhir ini memburuk yang diakibatkan oleh penembakan polisi terhadap warga kulit hitam George Floyd telah membawa Donald Trump ke dalam situasi kritis mengingat Amerika Serikat merupakan negara multicultural. Di sisi lain, sang penantang Joe biden menghadapi tantang terkait kasus yang menimpa puteranya yaitu Hunter Biden. Dikhawatirkan apabila terpilih jadi Presiden, Joe Biden akan terjadi konflik kepentingan.
Presiden dalam kedudukan di negara yang menganut sistem Presidensial memiliki posisi yang kuat. Salah satunya presiden dapat membatalkan peraturan-peraturan sebelumnya yang dibuat oleh Presiden pendahulunya.
Disisi lain parlemen tidak mudah untuk menjatuhkan kekuasaan Presiden seperti akan halnya dalam negara sistem parlementer. Bukti terbaru adalah Presiden Donald Trump gagal diimpeach oleh Konggres yang terdiri dari Senat dan DPR dalam kasus penyalahgunaan kekuasaan dan sekongkol dengan Rusia untuk memenangkan Pilpres 2016.
Berbeda dengan pemilihan presiden di Indonesia yang menganut sistem suara terbanyak sebagai pemenang atau popular vote. Pemilihan Presiden Amerika Serikat menggunakan sistem electoral college atau delegasi. Setiap negara bagian memiliki jatah delegasi dalam EC. Presiden terpilih bisa jadi memiliki jumlah suara (popular vote) yang lebih sedikit dari sang calon presiden penantang tetapi memiliki jumlah delegasi EC lebih banyak.
Hal ini terjadi dalam Pilpres Amerika Serikat tahun 2016 yang lalu dimana Hillary Clinton gagal terpilih menjadi Presiden walaupun mendapatkan jumlah suara yang lebih banyak dari Donald Trump. Donald Trump memiliki jumlah delegasi EC yang lebih banyak dari Hillary Clinton. Untuk mengamankan kursi Presiden Amerika Serikat, seorang calon Presiden membutuhkan 270 jumlah delegasi EC dari total 538 delegasi.
Siapapun yang memenangkan Pilpres Amerika Serikat baik Donald Trump sang petahana atau Joe Biden sang mantan Wakil Presiden era Barrack Obama memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar salah satunya adalah menghadapi ketidakpastian kapan berakhirnya pandemic corona.