Lihat ke Halaman Asli

Maman Gendeng

Sukmajati Institute

Setelah Hujan Reda

Diperbarui: 14 Agustus 2022   18:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari tampak mengusir mega yang habis sudah airnya. Jalanan basah. Pepohonan basah. Tetapi hati tetap kering kerontang. Seakan kemarau panjang.

"Di..kau tambah cantik saja setiap hari" Seorang lelaki berkata kepada perempuan disampingnya.

"Sungguh rayuan yang tidak perlu" wanita itu menjawab dengan senyuman dan memandang jauh di bola mata si laki-laki.

"Memang batu kau ini, apakah kau masih saja menyangsikan cintaku? Haha"

"Tentu...dan harus kusangsikan semua kata-kata cinta setiap laki-laki yang terdengar ditelingaku".

"Kau terlalu naif soal cinta Pram!!"

"Bukan aku saja, tetapi semua orang yang ada di bumi. Aku menyadari itu. Aku mencintaimu bukan hanya dalam kata, bahkan sejak masih dalam pikiran"

"Aku tak percaya pada cinta yang diucapkan, dan sengaja ditunjukkan, lalu apa yang kau harapkan dengan menyatakan cinta padaku? Atau hanya mengobral kata saja?"

"Di..aku tak pernah berharap apapun dari cinta. Bahkan darimu sekalipun. Cinta itu memberi tanpa harus diminta, dan tak berharap kembali apapun, mungkin terdengar naif dan tanpa makna, tetapi hanya itu yang aku kenal soal cinta".

Burung-burung terbang dengan bahagia. Dengan kekasih mereka hinggap di ranting-ranting Cemara. Sementara bukit bukit mulai tertutup kabut di jalan antara Kota Batu dan Kabupaten Mojokerto. Cangar.

"Tetapi Pram, cinta suci, cinta abadi, adalah cinta yang tak pernah bisa saling memiliki. Karena kita sama-sama sadar bahwa rasa yang menghinggapi hati, bukanlah milik kita. Itu juga hanya titipan yang harus dirawat dengan segenap ketulusan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline