Kita melihat fenomena nepotisme mulai dari bawah sampai atas seolah menjadi hal yang normal di masyarakat kita, nepotisme seringkali dibela dan dianggap sebagai alamiah manusia untuk berlaku seperti itu.
Nepotisme bisa kita jumpai dimana saja disekolah, dikantor, sampai di pemilihan presiden. Semua urusan bisa beres apabila punya orang dalam.
Nepotisme dianggap alamiah karena sejatinya manusia egois dan pasti mendahulukan orang-orang terdekat saja. Argumen ini sepertinya tidak berdasar apa-apa. Tidak ada gen egois didalam diri manusia, sejarah mencatat bahwa sifat dan karakter manusia berubah-ubah sesuai perkembangan zaman.
Nepotisme bermula dari ketidaksetaraan dan monopoli yang ada di masyarakat kita. Dengan adanya kompetisi yang ada, semua orang berusaha menjadi pemenang. Ketika mereka-mereka yang punya sumber daya berlebih seringkali menggunakan cara-cara nepotisme untuk melanggengkan tujuan dan menjaga regenerasi kekayaan serta kekuasaan. Bagi mereka yang tak punya sumber daya berlebih hanya bisa menggerutu dan mengoceh saja.
Ada pula yang mendukung nepotisme, dengan argumen ``boleh aja nepotisme, asalkan berkualitas``. Argumen ini juga keliru, pada akhirnya ketika kita mendukung nepotisme kita menghambat atau menghalangi orang lain untuk punya kesempatan yang sama.
Semakin hari nepotisme juga dipertontonkan secara vulgar, belum hilang di ingatan kita pada pemilihan presiden dan wakil presiden, bagaimana gibran dibantu oleh sang paman dan ayahnya sendiri untuk melanggeng jadi wakil presiden.
Di semua lini kehidupan kita nepotisme menyebar bak virus, baik di sosial,ekonomi maupun politik kita. Virus ini tidak bisa diatasi dengan slogan ataupun ceramah moral. Virus ini hanya bisa diatasi dengan perlawanan atau radical break.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H