Revolusi industri mengubah dunia kita, yang dulu masyarakat kita bercocok tanam dan beternak dengan alat sederhana, kini kita mengandalkan AI (Artificial Intelligence) untuk membantu pekerjaan kita.
Dulu mesin hanya punya kemampuan teknis, kini dengan perkembangannya juga memiliki kemampuan intelektual.
AI (Artificial Intelligence) bagi sebagian orang memberi optimisme, tapi bagi sebagian yang lain memberi pesimisme.
Dengan adanya AI dianggap pekerjaan manusia lebih mudah dan membutuh waktu yang lebih sedikit, dimana potensi ini bisa menggantikan peran manusia dibeberapa industri. Hal ini bisa berdampak pemecatan massal dan penambahan jumlah pengangguran.
Teknologi AI memang sangat revolusioner tapi dalam batas-batas tertentu alat ini digunakan hanya untuk kepentingan tertentu seperti komersil, penipuan, sampai perang.
Dengan kehadiran AI ini bisa memicu stress masal, dimana banyak orang yang tidak siap dengan perubahan yang begitu cepat.
Teknologi yang begitu maju bisa jadi bermasalah bila digunakan oleh pemerintah yang otoriter untuk mengekang kebebasan masyarakat, teknologi bisa dipakai untuk mengontrol dan memanipulasi manusia.
Jika AI tidak dikelola secara demokratis, maka besar potensinya untuk merusak dan memperbudak manusia.
Maka itu pengelolaan dan pembuatan regulasi AI harus dilakukan secara demokratis bukan hanya dikuasai oleh satu negara atau kelompok elit saja agar teknologi mampu melayani dan berguna untuk kebaikan bersama umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H