Sejak awal kita bertemu aku memandangmu senyum diwajahmu, kita susuri jalan yang terjal, berliku-liku, berbatu, menanjak dan menurun, dan belum sampai pada tujuan akhirnya ingin kau tinggalkan aku sendiri dalam mengarungi samudera kehidupan.
Terkejut, terluka, diselimuti kesedihan mendengar segala ungkapan pesimismu akan rumah yang telah dibangun dengan susah payah dengan segala yang kita curahkan. Ini seakan tidak percaya dengan yang kau ucapkan.
Aku terus mengingat momen-momen yang telah kita lalui, perjalanan panjang yang kita jalani, ada harapan disana tapi kini semua pergi yang tinggal hanya pesimis.
Hubungan itu ibarat rumah, dia di bangun, di bentuk, di jaga, di rawat terus-menerus. Proses membangun, menjaga, merawat ini tidak selalu berjalan mulus ada disela-sela oleh keributan, kemarahan bahkan tangisan. Karena cinta seperti halnya kehidupan, melewati segala hal yang ada baik suka dan dukanya.
Rumah yang kita bangun bersama itu ingin kau usir aku darinya dengan berbagai alasan, seakan lenyap pengharapan dan mimpi kita. Kita mulai saling merendahkan, mencela, menjelekkan satu dan lainnya. Bukan kah cinta harusnya saling menghargai, meninggikan, dan berjuang bersama?
Adakalanya dalam hidup kita diatas dan dibawah. Sebab itu kita butuh orang yang bukan hanya mau tangguh kita saja tapi juga jatuhnya kita. Orang yang bertahan di segala kondisi dalam mengarungi samudera kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H