Lihat ke Halaman Asli

Korupsi Ekologis Dalam Gerakan Penghijauan

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tahun tahun belakangan ini, perlahan tapi pasti, gaya hidup baru yang ‘hijau’ menyeruak di keseharian kita. Gaya hidup baru ini di dorong dengan sangat bersemangat oleh pemerintah dan jajarannya, termasuk juga oleh para investor dalam berbagai bidang pembangunan. Namun hiruk pikuk gaya hidup hijau yang sekarang ramai menjadi judul utama di berbagai pemberitaan disinyalir sudah lepas kendali. Gaya hidup hijau sekarang sudah menjadi pemimpin pasar, dan gaya hidup hijau belum tentu sejalan dengan prinsip lestari yang seharusnya menjadi jiwa gaya hidup hijau. Percepatan pertumbuhan gaya hidup hijau ini harus di akui merupakan jerih payah pihak pihak yang dulunya termarjinalkan, baik lembaga swadaya mayarakat, organisasi profesi, masyarakat adat, hingga perguruan tinggi.

Salah satu kegiatan yang acap kali tidak terbantahkan sebagai bagian dari gaya hidup hijau adalah gerakan penanaman pohon. Kegiatan ini di lakukan oleh berbagai pihak –dengan berbagai motif- untuk meyakinkan kita bahwa inisiator kegiatan peduli dengan lingkungan. Dengan di bungkus dalam  berbagai nama kegiatan, promosi dan kadang mengundang media, semua seolah berteriak kami peduli !!

Nada tulisan yang sinis ini sebenarnya bermaksud untuk membuka mata kita tentang apa yang pernah, sedang, dan akan terjadi jika kita terus maju dengan kecepatan konstan dalam kegiatan menanam pohon dengan reaktif, terpicu karena gaya hidup, yang di bungkus oleh motif ekonomis dan kadang politis tanpa di dukung oleh informasi yang memadai dengan konsep yang kuat.

Pentingnya Informasi Latar

Gerakan penanaman pohon seyogyanya memiliki tujuan yang spesifik yang menggambarkan tujuan akhir dari kegiatan tersebut. Dengan adanya tujuan yang jelas, maka kegiatan penanaman tidak hanya akan berhenti setelah penanaman selesai, tapi terus di monitor dengan hasil hasil turutan yang terukur dan terprediksi. Penanaman sporadis yang selama ini terjadi, hanya menghias media pada saat kegiatan tersebut di laksanakan, namun kehilangan daya tariknya jika sepuluh atau duapuluh tahun kemudian di beritakan sebagai laporan kemajuan kegiatan.

Banyak contoh yang terjadi menggambarkan betapa minimnya informasi awal yang mendukung gerakan penanaman pohon. Cerita penanaman pohon Angsana (Pterocarpus indicus) ke seluruh Indonesia yang kemudian dianggap memiliki sifat mudah patah dan tumbang adalah contoh klasik. Sekarang pohon Angsana bukanlah merupakan pilihan, bahkan nyaris tidak di lirik untuk menjadi pohon penghijauan. Demikian juga penanaman pohon Akasia (Acacia auriculiaformis) yang serbuk sarinya ternyata memicu alergi apabila terhirup pernah terjadi.

Polemik yang sama muncul pada saat Presiden SBY mempromosikan Trembesi / Ki Hujan (Samanea saman) sebagai pohon idola untuk penghijauan dengan mengedepankan kemampuan produksi oksigennya. Kita acap kali lupa bahwa pohon juga bernafas yang artinya memproduksi karbondioksida – yang dilakukan 24 jam dalam sehari, sementara produksi oksigen hanya dilakukan pada saat pohon ber foto sintesis di siang hari.

Namun bukan itu yang menjadi ke khawatiran sementara pihak. Mustaid Siregar, Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor menyampaikan pandangan yang sangat menarik, bahwa Trembesi yang sudah di kenal masyarakat Indonesia sejak lama, ternyata bukanlah jenis asli Indonesia atau pun asia tenggara. Mengapa jenis jenis asli Indonesia tidak di dorong ke depan ? Apakah Negara kaya ini tidak memiliki jenis yang lebih baik dari Angsana dan paling tidak setara dengan Trembesi ? Dengan di formalkannya Trembesi, maka dapat di pastikan roda kegiatan penyediaan bibit Trembesi berputar, dan sekali lagi species lokal pohon Indonesia terpinggirkan.

Kegiatan penanaman pohon seolah merupakan ritual suci, yang seolah tidak dapat di tolak. Tidak pernah kita mendengar kegiatan ini di tolak, bahkan pemerintah kota Jakarta berniat melakukan ‘tanam paksa’ pohon di halaman rumah warganya. Namun ternyata penolakan gerakan penanaman pohon pernah terjadi, setidaknya di eco-park Cibinong. Ribuan bibit Sukun (Artocarpus indicus) di tolak untuk di tanam dalam 30 hektar kawasan ini, karena kawasan eco-park di desain dengan konsep bioregion Indonesia, dan konsep itu akan rusak jika jenis pohon yang di tanam tidak mengkuti kaidah konsep.

Dari dua fakta ini, tanam paksa dan penolakan penanaman pohon, muncul pertanyaan mendasar, apakah kita memiliki cukup tempat untuk di tanami pohon? Apakah pohon pohon yang kita tanam sudah tepat ?

Konsep Penanaman Pohon

Di luar kegiatan landscape gardening untuk membangun kesan estetis suatu tempat tertentu dengan waktu relatif singkat dengan memanfaatkan elemen tanaman, kegiatan penanaman pohon sebenarnya adalah kegiatan landscaping dalam skala besar. Banyak aspek yang perlu di analisa dan di kaji sebelum sebuah kegiatan penanaman pohon dapat di lakukan di tengah hirup pikuk media.

Konsep penanaman pohon di suatu tempat bukanlah sekedar datang, gali, tanam, dan tinggalkan. Konsep penanaman pohon harus bisa menjabarkan kualitas apa yang ingin di capai. Pendekatan untuk mencapai kualitas visual dan kualitas ekologis tentu berbeda pada saat menentukan apa yang akan di tanam, berapa banyak yang harus di tanam, bagaimana menanam, bagaimana pemeliharaan hingga tujuan akhir yang diinginkan tercapai. Mengapa semua hal ini penting ? Karena kita sedang berinvestasi jangka panjang. Di perlukan waktu  puluhan tahun untuk menyaksikan apa yang kita tanam hari ini   tumbuh berkembang hingga bisa kita nikmati.

Gerakan penanaman pohon hingga saat ini tidak mengakomodasi aspek ekologis secara menyeluruh, acap kali tanpa rencana pengelolaan dan jarang sekali mempertimbangkan kualitas visual yang ingin di capai. Gerakan penanaman pohon seharusnya di lihat sebagai peluang mengedepankan berbagai species pepohonan lndonesia, yang dapat memutar roda perekonomian lokal di berbagai daerah di Indonesia

Kurangnya pertimbangan dalam  aspek ekologis secara menyeluruh sudah di mulai sejak pemilihan jenis yang akan di tanam. Species popular yang tersedia di pasar dalam jumlah besar, itulah yang akan di tanam. Tidak pernah ada upaya persiapan yang matang dalam pemilihan species dengan mencermati di mana mereka akan di tanam. Komposisi species yang akan di tanam,  persentase antara pohon pohon perintis dan pohon pohon utama, serta jenis jenis understorey-nya juga tidak pernah di perhatikan. Apalagi upaya preventif pemeliharaan dan pemeliharaan rutin selama tahun tahun berikutnya, selalu tidak ada dalam mata anggaran.

Dari pengalaman penulis terlibat dalam desain lanskap di Inggris, jenis dan komposisi pohon pohonan yang akan di tanam untuk penghutanan, di awali dengan prasyarat bahwa jenis di pakai harus jenis asli Inggris. Kemudian diikuti dengan komposisi jenis pohon besar, pohon kecil, dan understorey, untuk dapat menciptakan karakter hutan secara visual. Aspek aspek prinsip ini seharusnya menjadi acuan bagi seluruh gerakan penanaman pohon agar tidak terjadi penurunan kualitas keanekaragaman hayati kita.

Di era Suharto kita mendengar program penanaman sejuta pohon, kini di era SBY kita di sodori program semilyar pohon. Sebenarnya ini adalah momen yang tepat untuk mendorong agar program penanaman pohon menjadi memiliki nilai tambah lebih. Dengan persiapan yang matang, konsep yang jelas, anggaran yang memadai, dan parameter yang terukur, tidak perlu kita menanam hingga semilyar pohon. Besar harapan kita, dalam sepuluh hingga duapuluh tahun ke depan, pohon Trembesi tidak menjadi pohon yang akan kita temui ke mana pun kita pergi di wilayah Indonesia, sama seperti cerita lama pohon Angsana. Kita berharap, ketika kita pergi ke sebuah daerah di Indonesia, kekayaan flora lokal terpancar melalui pohon pohon penghijauannya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline