Lihat ke Halaman Asli

rahmaharumoktaviana

MAHASISWA PWK 19 UNIVERSITAS JEMBER

Default Mengesampingkan Peluang Penerbitan Obligasi Daerah

Diperbarui: 11 Mei 2020   10:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Default adalah kegagalan bayar atau dalam KBBI artinya (kegagalan) kegagalan untuk melakukan atau memenuhi suatu kewajiban sebagaimana tercantum di dalam kontrak, sekuritas, akta atau transaksi lainnya.  default ini juga berlaku dalam sistem obligasi daerah yang berarti resiko dimana bunga atau pokok obligasi tidak dibayar dalam waktu yang telah disepakati antara penerbit dan pembeli obligasi dan dalam jumlah yang penuh. 

Obligasi daerah sedang tenar untuk diadakan realisasinya sejak ditetapkan 3 tahun yang lalu oleh Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia yang termaktub dalam PMK Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban, Dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah. 

Default menjadi momok menyeramkan paling utama dari sekian banyak dalih dari pemerintah provinsi dan pemerintah daerah untuk tidak menerbitkan obligasi daerah. 

Pasalnya, jika terjadi default atau utang dari obligasi yang tidak sanggup untuk dibayar oleh penerbit obligasi daerah, dana APBN pun tidak akan membantu untuk menutupi utang tersebut atau dalam artian lain Pemerintah Pusat tidak akan membantu apapun dan memberikan jaminan untuk menyelesaikan terlunasinya hutang daerah atas obligasi daerah.

 Masalah default ini makin menciutkan nyali pemerintah provinsi atau pemerintah daerah untuk menggenjot pembangunan infrastrukturnya melalui obligasi daerah disebabkan adanya kasus gagal bayar oleh Detroit. 

Kasus Detroit yang terjadi di Michigan, USA, sebagai kota dengan basis industri otomotif terkenal memiliki utang tak terbayar sebesar $ 18 Milyar atau setara dengan Rp. 180 triliun jika dirupiahkan. Terjadinya default di Detroit dikarenakan utang manajemen yang terlalu besar dan adanya dugaan korupsi dalam pengelolaan pemerintahan sehingga turut memperburuk pembengkakan gagal bayar. 

Adapun kasus gagal bayar lainnya yaitu WPPSS (Washington Public Power Supply System) yang terjadi pada tahun 1970-1980 dengan diterbitkannya obligasi daerah untuk fokus pembiayaan 5 pabrik nuklir. 

Lagi-lagi proyek yang mengait USA sebagai negara super power itu mengalami kegagalan pengelolaan dan kondisi keselamatan yang buruk sehingga melahirkan pembengkakan biaya konstruksi mencapai 4 kali lipat pada tahun 1983. Di saat yang bersamaan, permintaan akan energi nuklir menurut sehingga memaksa WPPSS menutup beberapa pabrik.

Pengembalian utang / obligasi daerah pada pembelinya hanya dipenuhi sebesar 40% oleh pihak WPPSS.  Kota besar saja bisa gagal dalam pembayaran utang pada obligasi daerahnya, apalagi provinsi-provinsi di Indonesia yang notabenya masih dalam negara berkembang? Begitulah umumnya yang ditimbang-timbang oleh pemerintah provinsi ataupun pemerintah daerah.

Akan tetapi sebenarnya presentasi default dalam obligasi daerah dapat ditekan apabila setiap pemerintah provinsi atau pemerintah daerah dapat mematuhi dan mengikuti prosedur penerbitan obligasi daerah yang telah terangkum dalam perundang-undangan nya. Selama ini ketakutan akan default terjadi karena pemerintah daerah atau provinsi sering mengesampingkan peluang dan benefit dari obligasi daerah. 

Dilansir dari hasil penelitian Journal of Indonesian Applied  Economic Vol. 5 No. 2 Oktober 2011, 157-171 mengungkapkan bahwa Obligasi daerah merupakan alternatif yang layak dipertimbangkan sebagai sumber pembiayaan daerah dibandingkan pendanaan yang lain. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline