Lihat ke Halaman Asli

Kawasan Nol Kilometer Butuh Penertiban

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kawasan nol kilometer Yogyakarta merupakan salah satu kawasan wisata yang menjadi favorit para wisatawan. Selain tanpa tiket masuk (gratis), kawasan nol kilometer merupakan tempat eksotis di Yogyakarta. Akan tetapi keeksotisan nol kilometer dinodai oleh kesemrawutan pkl (pedagang kaki lima) yang menjamur di kawasan tersebut. Padahal di kawasan tersebut jelas-jelas terpampang larangan untuk berjualan. Banyaknya pengunjung menjadi alasan bagi para pedagang untuk bertahan berjualan di tempat tersebut. Mereka tidak peduli walaupun harus bermain kucing-kucingan dengan petugas yang sering kali menertibkan tempat tersebut. Banyaknya pedagang kaki lima di kawasan tersebut juga berdampak pada semakin semrawutnya kawasan nol kilometer. Terlebih lagi ketika wisatawan sedang ramai-ramainya memadati kawasan itu.
Para pedagang tersebut tidak memiliki lapak permanen atau gerobak besar yang digunakan untuk berdagang. Mereka hanya menjajakan dagangannya di trotoar tempat pejalan kaki. Mereka biasanya menata dagangannya di trotoar tersebut sehingga dapat dipastikan sepanjang trotoar dipadati para pedagang beserta dagangan mereka. Berbagai macam pedagang dapat kita temui disini. Mulai dari pedagang yang menjual barang sampai pedagang yang menjual jasa. Perlu kita tahu bahwa pedagang yang ada di kawasan nol kilometer bukan hanya pedangan cindera mata (oleh-oleh ) ataupun padagang jajanan meliputi makanan dan minuman saja. Akan tetapi banyak pula para penjual jasa mulai dari pelukis, badut untuk jasa foto, ataupun pengamen.
Wisatawan terkadang harus berdesak-desakan dengan sesama wisatawan lain juga berdesakan dengan para pedagang tersebut. Dapat dikatakan bahwa keindahan kawasan nol kilometer berkurang dengan adanya kesemrawutan tersebut. Hal tersebut dapat memberikan citra kumuh bagi kawasan nol kilometer sendiri.
Dalam hal ini kita tidak dapat saling menyalahkan antara pihak pedagang yang melanggar peraturan maupun pemda yang kurang tegas dalam menjalankan tugasnya. Akan tetapi hal tersebut dapat dikompromikan dengan menambah tempat atau lapak-lapak legal tempat para pedagang ini berjualan. Sehingga keuntunganpun dapat terwujud antara kedua belah pihak.
Kesemrawutan pedagang bukan menjadi masalah tunggal di kawasan tersebut. Dengan banyaknya pedagang sudah pasti banyak pula sampah yang dihasilkan. Sayangnya ketika mengunggah tulisan ini gambarnya tidak bisa tercopy dalam tulisan.
Menurut salah seorang pengamen yang sempat berbincang-bincang dengan saya, yaitu pak Yadi yang berasal dari Wonosari Gunungkidul Yogyakarta. Beliau sebenarnya juga tidak mau kucing-kucingan dengan petugas. Akan tetapi himpitan ekonomi memaksanya untuk tetap mencari nafkah di kawasan nol kilometer tersebut. Petugaspun tidak secara rutin melakukan penertiban pkl(pedagang kaki lima) di kawasan tersebut. Penertiban biasanya dilakukan ketika tamu besar yaitu para pejabat akan berkunjung ke Yogyakarta. Barulaah kawasan nol kilometer ditertibkan dari para pedagang tersebut.
Kawasan nol kilometer sendiri terkenal dengan bangunan bersejarahnya misalnya saja bangunan bank bni yang sering kali dijadikan latar belakang (background) ketika berfoto. Selain itu di tempat tersebut terdapat pula benteng Vredeburg dan istana negara. Kawasan ini digemari karena berada di pusat kota dan juga dekat dengan kawasan wisata malioboro dan tugu Yogyakarta. Tidak heran jika banyak pedagang yang juga tertarik untuk berjualan disana karena pengunjung memadati kawasan ini terlebih ketika malam hari.
Para pedagang yang menjamur tersebut bukan hanya berasal dari wilayah kota Yogyakarta saja. Mereka kebanyakan berasal dari wilayah di luar Yogyakarta misalnya gunungkidul, bantul, serta wilayah-wilayah lainnya. Tujuan utama mereka adalah mengadu nasib guna mencari nafkah untuk keluarganya yang berada di desa. Keuntungan yang dihasilkan dari berdagang tersebut yang membuat mereka tetap bertahan walaupun harus melanggar peraturan daerah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline