Lihat ke Halaman Asli

Penyisiran Anggaran APBD

Diperbarui: 3 November 2019   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Baru-baru ini pemerintah daerah dikagetkan dengan rencana penyisiran anggaran APBD oleh Kemendagri pasca pengangkatan bapak Tito Karnavian menjadi Menteri Dalam Negeri. 

Kekagetan ini terutama dikarenakan keadaan saat ini berada pada penghujung pelaksanaan anggaran APBD tahun 2019 sekaligus persiapan final APBD tahun anggaran  2020.  

Rencana penyisiran anggaran APBD ini ditanggapi pro kontra. Saya pribadi memandang secara positif. Tidak bisa kita pungkiri bahwa struktur APBD masih jauh dari postur yang ditentukan pada Pedoman Penyusunan APBD yang regulasinya ditetapkan setiap tahun oleh Kemendagri. Kesesuaian ini belum pernah diperiksa konsistensinya. 

Belum lagi tingginya belanja tidak langsung, belanja pegawai dan belanja barang/jasa sedangkan belanja modal rata-rata di bawah 50 %. 

Belanja barang/jasa di sini pengertiannya adalah belanja barang yang umur penggunaannya di bawah 12 bulan. Belanja pegawai dan belanja barang/jasa ini merupakan alokasi yang bisa dimainkan untuk pembiayaan nonbudgeter. Sedangkan pada belanja modal sebagian di antaranya tidak tepat sasaran dan tidak berdaya guna.

Namun saya melihat bahwa penyisiran anggaran ini adalah sebuah upaya kuratif atau upaya perbaikan di hilir, bukan di hulu. Saya memandang walaupun upaya penyisiran anggaran ini tetap penting namun tidak cukup hanya dengan penyisiran anggaran saja. Perlu upaya-upaya penting lainnya yang berada di hulu. Di antaranya adalah standarisasi sistem e-government, penyempurnaan sistem pelaksanaan anggaran, penyempurnaan sistem seleksi terbuka jabatan dan depolitisasi birokrasi. Kesemuanya terkait langsung dengan siklus dan ekosistem anggaran.

Anggaran diproses pada aplikasi e-government. Menyisir anggaran berarti harus juga menyisir aplikasi e-government. Sistem e-government dimulai dari e-planning, e-budgeting, e-procurement, e-delivery, e-asset dan e-audit. Hampir semua instansi pemerintah daerah membangun sistem e-government secara sendiri-sendiri dan memiliki variasi bentuk dan sistem yang berbeda satu sama lain. 

Hanya e-procurement yang terstandarisasi secara nasional yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dengan beberapa sistem aplikasi mulai dari sistem LPSE, sistem RUP, sistem e-katalog dan sistem lainnya. Semua pemerintah daerah tinggal memakai aplikasi e-procurement. 

LKPP dengan mudahnya memantau semua pergerakan aplikasi e-procurement dan siap memberikan layanan bantuan ataupun konsultasi terhadap permasalahan yang menyertainya. Sedangkan aplikasi e-government lainnya sangat lokalistik dan tidak terintegrasi satu sama lain antar pemerintah daerah sehingga pihak Kemendagri pun kesulitan untuk memantau pergerakan APBD pada e-government. 

Untuk efektifitas dan efisiensi maka sebaiknya Kemendagri membangun sebuah sistem e-government yang terpadu dan terkoneksi satu sama lain dan terstandar secara nasional sehingga Kemendagri bisa memantau secara online semua pergerakan APBD termasuk melakukan penyisiran anggaran secara online.

Penyempurnaan sistem pelaksanaan anggaran dengan melakukan percepatan pembuatan sistem aplikasi e-delivery dan e-delivery lanjutan atau dengan kata lain sistem pelaksanaan anggaran yang terdokumentasi secara online dan meminimalisasi proses manual dalam pelaksanaan anggaran terutama pada proses kemajuan keuangan dan kemajuan pelaksanaan kontrak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline