Hari ini sudah Bulan Desember, yang berarti sebentar lagi Bulan Januari atau tahun baru, tepatnya pergantian tahun 2023 ke tahun 2024. Dengan adanya pergantian tahun, orang-orang sering memiliki resolusi baru atau harapan-harapan baru dengan apa yang ingin dicapai pada tahun yang akan datang, dan biasanya ramai di media sosial dengan tagline #NewYearNewMe. Tetapi, tidak jarang banyak orang yang gagal mencapai resolusi nya di tahun sebelumnya, sehingga menjadi pesimis atau pasrah di tahun berikutnya. Hal tersebut tidak jauh dari perkara kebijaksanaan, yang dapat membuat seorang individu tepat dalam mengambil keputusan dan mengurangi adanya penyesalan atas kegagalan dari keputusan yang diambilnya. Biasanya kebijaksanaan erat kaitannya dengan orang tua, lalu apakah anak muda tidak bisa menjadi orang yang bijaksana?
Orang tua sering dianggap bijaksana karena telah melalui berbagai rintangan dalam hidup dan memiliki pengalaman yang bisa dijadikan pembelajarannya, sehingga dapat membuat keputusan yang lebih baik berdasarkan apa yang telah dialaminya. Menurut Baltes dan Staudinger (2000), Seseorang bisa menjadi bijaksana berdasarkan faktor umum dan faktor khusus. Faktor umum, contohnya adalah kemampuan atau ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah atau mencari solusi suatu masalah, memiliki mental yang sehat, terbuka dengan pemikiran atau pengalaman baru, dan memiliki emosi yang stabil dan matang. Faktor khusus, contohnya adalah pengalaman subyektif dalam mengatasi suatu masalah, memiliki figur atau sosok yang dijadikan pembelajaran (Observational Learning) dan adanya motivasi untuk memaksimalkan potensi atau keuntungan dan mengurangi risiko dalam pengambilan keputusan.
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan bijaksana itu? Menurut Erikson (1959) kebijaksanaan terbentuk dari proses penyelesaian konflik yang melibatkan integritas dan keputusasaan. Sedangkan menurut Baltes, Labouvie-Vief dan Sternberg, kebijaksanaan adalah pengetahuan, kemampuan kognitif, karakteristik kepribadian, dan pemahaman akan budaya dan lingkungan sekitar.
Jadi jika menurut pendapat para ahli tersebut, kebijaksanaan juga bisa terbentuk dari budaya. Jika kita melihat budaya di Jepang, kita bisa melihat kebijaksanaan warganya yang menjunjung tinggi rasa malu, karena budaya disana jika ada orang yang membuat kesalahan, maka orang tersebut tidak akan ragu untuk mundur dari jabatan atau bahkan hal yang ekstreem seperti budaya Hara-kiri atau Seppuku (ritual bunuh diri oleh samurai di Jepang dengan cara merobek perut dan mengeluarkan usus). Walaupun memang jika dibandingkan dengan keadaan di Indonesia, hal tersebut malah bertolak belakang, dimana saat ada orang yang terkena masalah yang bisa dianggap aib atau memalukan, malah tidak tahu malu dan masih kekeh untuk melakukannya lagi, misalnya jabatan di pemerintahan atau kasus artis yang tayang di TV.
Lalu kembali ke pertanyaan awal? Apakah bijaksana hanya milik orang tua? Apakah anak muda tidak bisa? Jawabannya adalah TIDAK, anak muda juga bisa jadi orang yang bijaksana, jika kita ambil contoh adalah TikToker Pandawara Group, yang menjadi pelopor atau penggerak pembersih lingkungan dari sampah, walaupun mereka masih muda, dengan dibarengi aksi nyata, kerja keras, konsistensi dan memanfaatkan sosial media. Mereka bisa menjadi orang yang memotivasi dan menjadi sosok yang berpengaruh atau katalisator orang-orang untuk ikut membersihkan lingkungan. Jadi internet bukanlah hanya untuk hiburan dan alat penyebar aib, tapi juga bisa digunakan untuk media promosi kebersihan lingkungan dan berbagai hal baik lainnya, itu semua kembali lagi tergantung bagaimana orang akan menggunakan teknologi tersebut, dan juga tentunya ada unsur kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan agar mendapatkan hasil yang memuaskan dan menghindari atau meminimalisir kegagalan atau kerugian.
Maka dari itu, terlepas dari umur yang tua atau muda, tahun baru atau tahun lalu. Kebijaksanaan bisa dimiliki oleh siapa saja, maka mari saling menghargai dan saling memahami bahwa dalam pengambilan keputusan tidak semuanya hanya berdampak pada diri sendiri, tetapi juga berdampak pada orang lain atau lingkungan. Maka kita perlu menjadi orang yang terbuka dan saling mengingatkan agar menghindari pengambilan keputusan yang buruk dan berakhir merugikan diri sendiri ataupun orang lain.
Referensi
Positive Psychology The Scientific and Practical Explorations of Human Strengths (3rd Edition) by Shane J. Lopez, Jennifer Teramoto Pedrotti, C.R. Synder.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H