Suku Baduy dikenal sebagai suku yang masih menjaga kelestarian tradisi dari para leluhurnya dan cenderung menutup diri dari budaya luar. Mereka tinggal di wilayah pedalaman Lebak, Banten tepatnya di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, itulah juga yang membuat mereka dipanggil sebagai urang Kanekes. Berteman dengan alam merupakan ciri khas dari Suku Baduy, di mana mereka benar-benar menjaga kelestarian alam di sekitar tempat tinggal mereka dan menggantungkan hidup dengan berladang dan bertani di tanah Kanekes yang subur.
Suku Baduy terbagi menjadi dua golongan yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam. Perbedaan utama dari kedua golongan ini adalah ketaatan mereka pada Pikukuh. Pikukuh sebagai hukum adat yang tidak boleh dilanggar dalam Keyakinan Suku Baduy atau Sunda Wiwitan dan aturan ini dititipkan kepada ketua adat atau yang disebut Puun. Baduy Dalam memegang teguh Pikukuh ini, sedangkan Baduy Luar sudah terpengaruh oleh budaya-budaya baru dari luar. Ada kalanya orang Baduy Dalam maupun Baduy Luar berbondong-bondong pergi keluar desa untuk melaksanakan Tradisi, yaitu Seba.
Seba berarti seserahan, di mana tradisi Seba ini ialah seserahan hasil alam masyarakat Baduy yang dilaksanakan setahun sekali sebagai ucapan rasa syukur yang diberikan kepada Bapak Gede atau Pimpinan pemerintah seperti Bupati dan Gubernur setempat. Tujuan tradisi seba ialah menyampaikan amanat, harapan, dan laporan, seserahan hasil alam, serta mempererat hubungan antara Suku Baduy dan Pemerintah setempat. Tradisi Seba dilangsungkan dengan rombongan ribuan masyarakat Baduy menuju ke kota tempat pemerintah berada. Baduy Dalam akan berjalan kaki pulang pergi dengan jarak yang cukup jauh dan Baduy Luar datang dengan kendaraan seperti truk.
Sebelum Tradisi Seba dilangsungkan, masyarakat Suku Baduy terlebih dahulu melakukan beberapa tradisi seperti Kawalu, dianggap sebagai bulan suci yang diisi oleh doa-doa kepada Yang Maha Kuasa dan Suku Baduy melaksanakan puasa sehari setiap bulannya. Pada saat tradisi ini berlangsung, wilayah Baduy ditutup bagi semua masyarakat di luar Suku Baduy. Kemudian, diikuti dengan tradisi Ngalaksa atau sebagai bentuk ucapan rasa syukur dan dilaksanakan dengan kegiatan membuat laksa, makanan adat dari Suku Baduy.
Tradisi Seba dibuka oleh Tanggungan Jaro Duabelas atau wakil tetua adat Baduy dengan mengucapkan tatabean, seperti ucapan seserahan dan laporan kondisi masyarakat Baduy dalam setahun belakangan. Kemudian dilakukan dialog dengan Gubernur maupun Bupati guna memperat hubungan dan komunikasi. Setelah itu, dilakukan penyerahan hasil alam dan juga peralatan tradisional dari Suku Baduy kepada Bupati dan Gubernur, demikian juga Bupati dan Gubernur menyerahkan antaran kepada perwakilan Suku Baduy.
Serangkaian ritual Seba ini memiliki makna di mana Suku Baduy sebagai suku yang masih tegas dalam menerapkan segala tradisi dan adatnya, walaupun di luar wilayah Baduy, zaman begitu pesat berkembang. Mereka menegaskan bahwa mereka merupakan masyarakat penganut asketisme atau menyepi dari keramaian dunia dan memilih hidup sederhana berdampingan dengan alam. Hasil alam yang dibawakan menunjukkan bahwa mereka amat bergantung pada kondisi alam untuk bertahan hidup. Secara tidak langsung, dari ritual Seba ini, masyarakat Suku Baduy ingin pemerintah sama-sama menjaga kelestarian alam guna kelangsungan hidup mereka. Pikukuh yang dianut Suku Baduy menunjukkan bahwa mereka ingin selalu menghargai semua aspek kehidupan, baik makhluk hidup maupun lingkungannya. Keharmonisan pun dapat terwujud dengan patuh kepada adat tanpa mengurangi atau menambah prasyarat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H