Oleh
Ben Senang Galus, penulis buku "Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta
Banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan nilai. Nilai merupakan realitas abstrak dalam diri manusia yang menjadi daya pendorong terhadap sikap dan tingkah laku. Seseorang yang menghayati nilai kejujuran akan terdorong untuk bersikap dan bertindak jujur kepada orang lain, bahkan terhadap dirinya sendiri. Pendidikan nilai kejujuran untuk mengukir akhal melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Individu disebut tidak bermoral (amoral) saat ia tidak mampu memberikan penghargaan (respect) terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Para psikolog melihat penyimpangan perilaku individu yang berbeda dengan norma umumnya ini sebagai suatu "deviant behavior", atau "delinquent", misalnya ketika seseorang mempunyai tingkat agresivitas (aggressive) yang amat tinggi disertai perilaku yang merusak (destructive). Bentuk penyimpangan lainnya adalah ketika individu mempunyai perilaku yang sangat berlawanan dengan lingkungannya sehingga disebut perilaku antisosial (antisocial behavior), dimana sifat merusak terhadap lingkungan sangat dominan, misalnya pada tingkat ringan dengan melakukan coret-coretan di tempat umum (graffiti), pada tingkat menengah dengan menganiaya orang lain, atau pada tingkat berat dengan membunuh makhluk hidup lainnya tanpa rasa iba. Dengan kata lain penyimpangan perilaku yang melawan nilai, norma dan hukum ini dikenal sebagai suatu kejahatan (crime).
Kejahatan dan keborokan manusia juga telah didokumentasikan misalnya Dante atau C.S. Lewis yang menggolongkannya sebagai the capital of sin atau the seven deadly sin. Dosa-dosa manusia ini meskipun dalam Kitab Suci terserak dan bukan merupakan daftar yang formal namun dapat digolongkan pada tujuh jenis yaitu sloth (malas), pride (membanggakan diri), gluttony (rakus), greed (ketamakan) , envy (iri), lust (nafsu, birahi) dan wrath (amarah). Sementara itu kebajikan (virtue) sebagai perlambang dari lawan the seven sin masing-masing adalah zeal (semangat), humility (kerendahan hati), faith and temperance (kepercayaan, kesederhanaan, pantang minuman keras), generosity (dermawan), love (cinta), self control (kontrol diri), dan kindness (kebaikan, kelembutan)
Dalam pandangan Nicolo Machiavelli (1469-1527) manusia itu pada dasarnya adalah penipu, rakus, tidak pernah terpuaskan dan serakah. Sementara itu Thomas Hobes (1588-1679), mengatakan bahwa manusia itu mempunyai sifat dasar yang mementingkan egonya sendiri dan merupakan musuh bagi manusia lainnya (homo homini lupus)
Bapak Psikologi dinamika seperti Freud (1856-1939) memandang bahwa manusia itu bertingkahlaku atas dasar motif yang berada dalam pikiran alam bawah sadar ("unconscious mind"), sehingga seringkali manusia berbuat kejahatan atas pikiran yang tidak disadarinya. Sebagai bapak psiko-sexual, Freud memandang bahwa tingkah laku manusia terjadi atas dasar dorongan seksual ("sexual drive") yang mengarah kepada prinsip kesenangan (pleasure principle) yang dikendalikan oleh id-nya masing-masing. Sementara itu ego manusia memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip realitas (reality principle), sedangkan super ego memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip moral (morality principle) Ini berarti bahwa kadar id, ego dan super ego setiap manusia berbeda-beda, sehingga manusia yang cenderung pada kejahatan akan memainkan id-nya lebih dominan, sementara manusia yang cenderung pada kebaikan akan memainkan super ego-nya lebih dominan. Idenya yang kontroversial adalah cara pandangnya terhadap perilaku manusia yang menurutnya didasarkan oleh keinginan yang tidak disadari (unconscious desires) dan pengalaman masa lalu manusia berupa sexual desires dan sexual expression pada masa kanak-kanaknya.
Pendidikan Moral
Secara spiritual maka kejahatan merupakan suatu bukti atas ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan nafsu (desires atau nafs), motif (motives) dan alam bawah sadar (unconscious mind) yang secara naluriah dimiliki oleh setiap manusia. Dalam pandangan agama kemenangan iblis atas manusia seringkali dijadikan simbol kemenangan kejahatan, dimana hilangnya nurani (conscience) dan lemahnya moral manusia merupakan hal yang menyebabkan terjadinya kejahatan pada umat manusia. Padahal manusia juga memiliki nurani dan moral sebagai simbol kebaikan (the basic goodness) yang secara naluriah dimiliki oleh setiap manusia. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, yang pertama adalah apakah yang menyebabkan manusia melakukan kejahatan, dan pertanyaan berikutnya adalah apakah kejahatan merupakan kesalahan dari inividunya ataukah merupakan kesalahan dari sistem dimana individu itu berada ?
Sementara itu tinjauan agama melihat bahwa manusia terlalu lemah dalam pengendalian emosi dan nafsunya karena tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan kekuasaan absolut Tuhan yang supranatural dan tidak diikat oleh kebiasaan baik yang membentengi manusia dari pengaruh kejahatan. Lahirnya paham positivism -dengan mengedepankan bukti nyata science hingga bukanlah kebenaran jika tanpa bukti empirik- telah menggoyang keyakinan manusia tentang keberadaan moral dan agama, seperti dituliskan oleh Wilson (1993): "Why has moral discourse become unfashionable or merely partisan? I believe it is because we have learned, either firsthand from intellectuals or secondhand from the pronouncements of people influenced by intellectuals, that morality has no basis in scince or logic. To defend morality is to defend the indefensible".