Seksualitas manusia adalah topik yang selalu menarik perhatian dan menimbulkan beragam perspektif. Di Indonesia, diskusi seputar perilaku seksual yang dianggap berbeda dari norma umum kerap menjadi perdebatan yang sensitif. Artikel ini mengajak pembaca untuk memahami secara mendalam fenomena ini dengan pikiran terbuka dan kritis melalui pendekatan kualitatif.
Apa Itu Perilaku Seksual "Menyimpang"?
Istilah "perilaku seksual menyimpang" seringkali dipahami secara berbeda-beda. Secara sederhana Perilaku seksual menyimpang adalah hubungan atau kecenderungan seksual yang tidak sesuai dengan aturan alamiah dan sosial. Misalnya, seseorang yang memiliki ketertarikan seksual dengan jenis kelamin yang sama, padahal secara biologis manusia diciptakan berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Penolakan terhadap LGBT sering kali muncul dalam bentuk stigma, di mana orang yang mengidentifikasi diri sebagai lesbian, gay, biseksual, transgender, dianggap melanggar norma sosial. Akibatnya, mereka sering merasa terasingkan dan tidak diterima, bahkan harus menyembunyikan identitas mereka. Bentuk perilaku penyimpangan seksual merupakan tingkah laku seksual yang tidak dapat diterima oleh semua jenis kalangan di masyarakat karena tidak sesuai dengan tata cara serta norma agama (Abidin, 2018).
1. Pandangan Agama Terhadap Perilaku Seksual Menyimpang
Semua agama resmi di Indonesia memiliki pandangan tegas menolak perilaku seksual menyimpang. Islam, sebagai agama mayoritas, dengan jelas menggariskan bahwa hubungan seksual hanya sah antara laki-laki dan Perempuan dalam ikatan pernikahan. Al-Qur'an memberikan contoh nyata melalui kisah kaum Luth yang dihancurkan karena perilaku seksual menyimpang, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-A'raf ayat 80-84 yang menjadi peringatan abadi bagi umat manusia. Demikian pula agama Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha secara konsisten menegaskan bahwa hubungan seksual di luar ketentuan alamiah adalah penyimpangan moral yang tidak dapat dibenarkan.
2. Sudut Pandang Pancasila Terhadap Perilaku Seksual Menyimpang
Pancasila sebagai dasar negara kita mengajarkan nilai-nilai luhur. Sila pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan kita untuk selalu mengikuti aturan Tuhan. Sila kedua tentang kemanusiaan mengajarkan kita saling menghormati, tetapi bukan berarti membenarkan setiap perilaku yang dianggap menyimpang dari fitrah kemanusiaan. Sementara itu, Sila ketiga "Persatuan Indonesia" sering dijadikan landasan argumentasi bahwa LGBT dapat memecah belah bangsa dan merusak nilai-nilai budaya yang menyatukan Indonesia, terutama karena dianggap sebagai "pengaruh asing" yang mengancam persatuan bangsa. Setiap sila dalam Pancasila pada dasarnya mengarahkan masyarakat untuk hidup sesuai dengan norma-norma luhur yang telah disepakati bersama.
3. Sudut Pandang Bahasa Terhadap Perilaku Seksual Menyimpang Bahasa
Indonesia sebagai alat komunikasi dan ekspresi budaya juga mencerminkan penolakan terhadap perilaku seksual menyimpang. Dalam bahasa kita, kata-kata seperti "keluarga", "suami-istri", dan "orangtua" selalu merujuk pada hubungan antara pria dan wanita. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah memiliki pandangan yang jelas tentang apa yang dianggap sebagai hubungan normal, yang telah ada sejak lama. Setiap kata yang digunakan membawa makna tentang harmonisnya hubungan antar manusia yang sesuai dengan kodrat alam. Dampak Sosial Perilaku Menyimpang Dampak sosial dari perilaku seksual menyimpang sangatlah kompleks. Pertama, ia berpotensi merusak struktur keluarga tradisional yang selama ini menjadi tulang punggung masyarakat Indonesia. Konsep keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak menjadi terancam eksistensinya. Kedua, risiko kesehatan reproduksi menjadi perhatian serius. Penularan penyakit menular seksual, khususnya HIV/AIDS. Individu dengan orientasi seksual di luar norma umum sering mengalami penolakan dan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka kerap menghadapi diskriminasi dari keluarga, lingkungan sosial, dan lembaga resmi, yang menyebabkan tekanan psikologis berkepanjangan. Akibatnya, mereka terpaksa menyembunyikan identitas diri, mengalami pengucilan sosial, dan kesulitan mendapatkan pekerjaan serta pengakuan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki sikap tegas melalui berbagai regulasi dan kebijakan. Undang-undang perkawinan dengan jelas hanya mengakui pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Pemerintah konsisten membatasi ruang gerak kelompok yang dianggap melakukan penyimpangan seksual dan melindungi institusi keluarga tradisional sebagai fundamental pembangunan karakter bangsa. Penting untuk dipahami bahwa pandangan kontra terhadap perilaku seksual menyimpang bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan upaya untuk mengembalikan individu pada fitrah dan martabat kemanusiaan yang sejati.