Lihat ke Halaman Asli

Detik Ini Jutaan Milyar Orang Berjalan di Garis Takdirnya

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya saya mengirim tulisan ini di kompasiana, teman di sebelah saya sedang mengerjakan pekerjaannya. Yang lainnya sedang membaca koran. Di ujung sana kelompok kecil dari beberapa orang sedang berdiskusi. Di rumah, istriku sedang belanja kebutuhan sehari – hari. Anakku yang kuliah sedang sibuk mengerjakan papernya, yang kecil masih bermain dengan bonekanya.

Di detik ini juga, ada begitu banyak jutaan manusia yang bergerak baik secara sadar mau pun tidak. Di belahan dunia beberapa orang sedang berperang dan terperangkap dalam perang saudara. Di dunia yang lainnya, masyarakat “bergelombang” memprotes resesi ekonomi yang membuat derita bagi dirinya. Di ujung lainnya dua – tiga orang sedang menyusun siasat tipu daya untuk menyerang sebuah negara. Dan lainnya sedang mengais makanan di jalanan.

Pada saat aku membaca lagi tulisanku, ratusan orang sedang terbaring dalam sakitnya, ratusan lainnya sedang bepergian karena suatu keperluan. Puluhan lainnya perampok sedang menguntit buruannya. Puluhan lainnya pencopet sedang mengawasi korbannya. Puluhan lainya juga anak gadis terbaring kehilangan kesuciannya.

Inilah garis takdir, sebuah rahasia yang penuh misteri dan penuh hikmah bagi siapa saja yang menjadikan pelajaran untuknya. Jika tak ada kuli bangunan, maka tak mungkin ada gedung mewah yang berdiri. Jika tak ada yang sakit, maka para dokter tak kan ada yang bekerja dan rumah sakit pun tak ada. Jika tak ada polisi maka perampokan makin merajalela. Jika tak ada pemuka agama maka masyarakat kehilangan moral dan etika. Jika tak ada pemimpin maka akan hancur sebuah negara.

Aku bersyukur hidup di sebuah negeri yang aman, tidak ada peperangan di negeriku. Aku hidup di mana pemimpinnya kebanyakan tidak amanah, sebagian dari mereka terjerat korupsi, sebagian dari mereka tersandung prilaku tidak terpuji, sebagiannya tak pernah menepati janji. Tapi aku tetap bersyukur negeriku aman sentosa, sampai Tuhan mendatangkan adzabnya untuk“memaksa” hambanya membuka kembali mata hatinya.

Tapi bagaimana dengan saudaraku, yang hidup di negeri yang bergejolak perang? Bagaimana dengan saudaraku yang kehilangan pekerjaan? Kehilangan tangan? Kehilangan rumah? Hidup dalam garis kemiskinan, menjadi pengungsi akibat pertarungan atau perang. Atau bagaimana dengan nasip saudaraku yang di pimpin penguasa zalim dan kejam? bagaimana dengan nasip saudaraku yang hidup di bahwa penjajahan?

Pernah suatu ketika aku bertanya, mengapa aku berada di garis takdir ini? Apakah aku sadar dan penuh dengan ikhlas menjalani garis takdir hidupku? Dan mengapa aku yang di pilih? Apakah aku bisa merubah garis takdir hidupku? Apakah masih ada waktu memperbaiki semua? Ataukah semuanya hanya tinggal sisa?

Tuhan, apakah semuanya hanya tinggal sisa – sisa perjalanan? Mendekati akhir perjalanan?

Suka atau tidak, siap atau tidak siap, rela atau tidak, aku “dipaksa” berjalan di garis takdir ini dan hidup di atasnya dengan penuh kesadaran dan ketundukan.

-----------------------------------------

Rahib Tampati

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline