Semuanya tahu kalau selingkuh itu dari sudut apa pun tidak baik namun mengapa masih ada perempuan yang mau jadi selingkuhan? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut sebaiknya kita melihat dulu bagaimana awal mula terjadinya perselingkuhan. Biasanya di awal, si pria dan wanita saling curhat. Sang pria mengisahkan mengenai istrinya yang sering berselisih paham dengan dirinya bahkan sudah tidak pernah berduaan lagi.
Hati wanita yang mudah bersimpati pada kisah yang pilu menjadi tersentuh hatinya dan merasa kasihan pada sang pria. Kedua insan ini pun kemudian sering bertemu dan tumbuhlah benih-benih cinta padahal status si pria pun jelas sudah menikah dan memiliki anak. Sekalipun si wanita sadar kalau melanjutkan hubungan terlarang itu salah namun tetap saja dilanjutkan atas nama cinta.
Apalagi si wanita merasa kalau sang pria adalah dia tipe pria ideal dan sangat romantis. Alhasil membuat si wanita merasa nyaman karena sang pria sungguh pandai membuat dirinya merasa dicintai, dibutuhkan, dan diperhatikan. Sang wanita pun seolah menemukan soulmate yang menjadi belahan jiwa. Belum lagi fasilitas materi yang berlimpah dari si pria menambah rasa cinta di hatinya yang diakui sebagai kasih yang tulus. Awalnya, ada rasa bersalah namun lama-lama tidak dan malah kini sudah tidak malu walaupun mendapat cibiran orang.
Seindah-indahnya selingkuh (katanya) tetap saja perempuan harus menolak. Alasannya jelas, selain karena memang tidak baik dari sudut pandang agama namun juga kita tidak akan pernah menjadi prioritas. Tidak akan bisa mendapat waktu sebesar yang dia berikan pada istri dan anaknya. Selain itu, kemungkinan besar kita hanya akan dijadikan pelampiasan. Bila hubungan dengan istrinya hangat kembali maka siap-siap akan ditinggalkan. Jarang sekali pria bersedia mengorbankan keluarga demi selingkuhan.
Pada umumnya mereka yang berselingkuh hanya berniat mencari kesenangan diri sendiri tanpa mengorbankan anak dan istri. Untuk apa buang-buang waktu, ngabisin pulsa, dan mikirin seseorang yang tidak pasti. Apalagi akan mendapat cap perusak rumah tangga orang. Apa pun alasannya label ini akan terus menempel. Ibarat maling yang mencuri karena kelaparan, miskin, terdesak, dan lain sebagainya akan tetap disebut maling. Kita juga tidak bisa bebas selfie berdua di medsos atau jalan-jalan tempat umum karena takut ketahuan keluarganya.
Seandainya dia mau menikahi kita, maka bayang-bayang rasa bersalah terhadap istri dan anak-anaknya akan terus menghantui. Sebab hati tidak akan pernah damai bila membangun kebahagiaan di atas penderitaan orang lain. Kelak akan timbul penyesalan mengapa tidak sejak dahulu mengakhiri hubungan dan mencari seseorang yang memang terbaik untuk kita. Rasa ketakutan semakin menghantui karena pria yang sudah berani tidak setia kepada istrinya suatu saat juga tidak akan setia kepada kita. Siap-siap ditimpa masalah yang sama!
Jadi, lebih baik memilih kebahagiaan yang tanpa penyesalan di kemudian hari. Kita perempuan layak dihargai dan mendapatkan pria yang menjadikan kita pertama dan satu-satunya. Alih-alih menjerumuskan diri dalam kebahagiaan selingkuh yang semu lebih baik membuka hati pada pria single yang menerima sebagaimana adanya. Kelak bila ada pria beristri yang curhat pilu mengenai pasangannya, biarkan saja dia dengan istrinya menyelesaikan masalah mereka berdua. Kita tidak wajib membantu apalagi menjadi pahlawan kesiangan. Percayalah keberadaan kita hanya akan memperburuk situasi keluarga mereka. Lebih baik kendalikan diri sebelum semuanya terlanjur.
Salam perempuan,
Rahayu Damanik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H