Lihat ke Halaman Asli

Rahayu Damanik

TERVERIFIKASI

Ibu Rumah Tangga

[Perang Timor Timur] Pengakuan Jujur Seorang Prajurit kepada Putrinya

Diperbarui: 4 April 2017   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Era 70-an provinsi Timor Timur atau Timtim (sekarang Timor Leste) terdapat kelompok bersenjata Fretilin (Front Revolusioner Independen Timor Timur). Fretelin adalah sebuah organisasi yang bergerak untuk menjadikan Timtim sebagai sebuah negara merdeka yang berhaluan komunis. Ribuan TNI dikerahkan melawan gerakan yang dianggap sebagai sebuah pemberontakan ini. Menurut salah satu sumber, ada sekitar 3.000 prajurit TNI tewas di medan perang demi melumpuhkan gerakan Fretilin.

Tanggal 30 Agustus 1999, saat pemerintahan dipegang oleh Bapak Presiden B.J. Habibie diadakanlah referendum yaitu jajak pendapat bagi warga Timor Timur untuk memilih merdeka atau masih tetap menjadi bagian dari Indonesia. Hasilnya sebagian besar rakyat Timor Timur memilih menjadi negara berdaulat dan terpisah dari Indonesia. Demikian secara singkat latar belakang terjadinya agresi militer TNI di tanah Timor Timur.

Bapak saya adalah salah seorang pemuda Indonesia yang mengikuti Pendidikan Dasar Militer di Sekolah Calon Tamtama dan kemudian lulus dengan pangkat Prajurit Dua. Sekitar tahun 70-an atau 80-an saat sedang bertugas di Yonif 125 Simbisa Kabanjahe beliau diutus ke Timor Timur. Bapak saya belum menikah saat itu dan beliau mengaku sangat ketakutan bila ternyata harus mati di medan perang. Sebagai prajurit biasa, bapak saya tidak mungkin mengelak untuk berperang. Demi mengabdi bagi negara dia terpaksa meninggalkan kampung halaman dan harus siap dengan segala risiko.

Bapak saya sadar kalau beliau adalah salah satu ujung tombak negara yang harus mempertahankan Timtim agar tidak jatuh ke tangan Fretilin namun tetap saja beliau tidak bisa melawan ketakutannya. Akhirnya sebelum berangkat berperang, bapak saya pulang ke kampung halaman beliau di Nagori Tani (sebuah dusun di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara). Bapak saya menemui oppung saya (bapak dari bapak saya yang adalah seorang veteran). Bapak saya menyampaikan ketakutannya untuk pergi berperang. Terlebih bapak saya mendengar tak terhitung banyak darah prajurit yang mati tertembak di medan pertempuran sehingga semakin menambah ketakutan beliau. Oppung saya pun memberi nasihat kepada bapak mengenai dua hal.

Pertama, bapak saya diminta untuk jangan menembak jika tidak terpaksa. Bila berhadapan dengan musuh sedapat mungkin buat tembakan meleset agar musuh tidak tertembak kecuali bila memang ada lawan yang jelas-jelas ingin menembak beliau. Kedua, oppung menyarankan agar bapak saya membawa beras dan garam tambahan yang dibungkus kecil-kecil untuk ditinggalkan di lokasi peperangan. Oppung saya berpendapat kalau masyarakat sipil di sana pasti kelaparan karena dilanda perang. Oleh karena itu, bapak saya harus membantu mengurangi sedikit kelaparan mereka. Bapak pun mengingat pesan oppung dan mengisi ransel prajurit yang sangat berat di pundaknya dengan tambahan beras dan garam. Bapak dan prajurit lain sudah terbiasa dengan beban ransel yang beratnya mencapai puluhan kilogram karena berisi pakaian, sepatu, makanan, tempat air minum, senjata, dan peluru.

Bapak melakukan semuanya persis seperti yang diminta oppung dan pada akhirnya syukurlah beliau selamat. Saya bertanya ke bapak, bagaimana dengan beras dan garam yang bapak tinggalkan, apakah ada rakyat sipil yang menyadarinya? Bapak mengatakan kalau dia selalu melihat ada saja warga sipil yang mengendap-endap mengambil bungkusan dari beliau. Kira-kira demikianlah yang disampaikan oleh bapak kepada saya.

Kira-kira kalau Pembaca berada di posisi saya sebagai anak seorang tentara yang mendengar bapaknya ketakutan berperang, apa yang ada di benak Bapak/Ibu? Mungkin ada yang berpendapat, betapa pengecutnya. Bukankah namanya tentara harus berani berperang dan siap mati apalagi demi mengabdi kepada negara? Kalau takut mati kenapa jadi tentara?

Banyak kisah yang menceritakan keberanian pahlawan di medan tempur, bahkan menganggap perang bukanlah momok yang menakutkan sebaliknya sebuah arena pesta pora karena latihan berat selama pendidikan telah memampukan prajurit mengatasi tantangan di medan perang. Betapa bangganya bila bapak saya menceritakan kalau dirinya adalah seorang sniper yang tidak pernah membuang-buang peluru karena tembakan yang selalu tepat sasaran. Ternyata kisah bapak saya jauh dari kata prajurit pemberani yang membanggakan.

Mengakui kelemahan diri sendiri bukanlah perkara mudah apalagi di depan pesaing atau anak sendiri. Kita diperhadapkan pada realita dimana kesalahan dan kekurangan selalu disembunyikan. Dunia dipenuhi dengan persaingan sehingga selalu ingin menampilkan yang baik-baik di hadapan semua orang. Banyak yang percaya bila mengakui kekurangan akan membuat seseorang tampak lemah. Padahal berani mengakui kelemahan adalah salah satu kualitas kepribadian yang sangat penting. Mengapa? Karena ketika kita mulai melihat kekurangan diri maka itulah saatnya timbul keinginan untuk memperbaiki diri. Sehingga proses membenahi diri menjadi seorang yang lebih baik sering kali diawali dari kesadaran dan pengakuan akan adanya kelemahan diri.

Selain bisa membuat kita menjadi pribadi yang lebih berkualitas, pengakuan akan kelemahan diri membuat kita dilihat orang lain sebagai seorang yang rendah hati dan menyenangkan. Misalkan bapak saya hanya menceritakan kehebatannya maka saya akan sulit terbuka mengenai kekurangan dan masalah yang saya hadapi. Berhubung bapak saya mau terbuka mengenai kekurangan beliau maka saya pun menyadari ternyata bapak saya juga manusia biasa yang memiliki kekurangan. Kesadaran ini membuat saya merasa tenang untuk mengungkapkan kegagalan dan kekurangan saya.

Orangtua mungkin sudah berbuat banyak hal benar namun pasti tidak luput dari kesalahan. Status sebagai orang tua tidak lantas membuat kita selalu menjadi orang yang paling benar, paling hebat, dan tidak pernah berbuat salah. Sebaik-baiknya orang tua adalah pribadi yang bisa sportif dan berani mengakui kekurangan diri. Pengakuan akan kelemahan orang tua akan mendorong anak terbuka akan kesulitan yang dia hadapi sehingga peran orang tua bisa lebih maksimal sebagai sahabat, pendidik, dan teladan bagi anak. Alih-alih berapologia lebih baik kita berani mengakui kelemahan diri sendiri. Terbuka akan kekurangan adalah pintu bagi pembenahan diri dan awal keterbukaan dengan orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline