Lihat ke Halaman Asli

Surat Terakhir dari Guru Idolaku

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang ini cuaca menangis. Ini bukan musim penghujan, tapi entah kenapa hari ini langit menurunkan rintik hujan seakan ikut merasakan kepergian beliau. Aku duduk terpaku, air mataku tak lagi keluar. Mungkin memang sudah tak ada lagi air mata yang harus ku keluarkan. Mereka bilang aku cengeng. Meraka bilang aku seperti anak perempuan. Mereka bilang aku berlebihan. Ya, apapun persepsi mereka tentangku, aku sama sekali tak peduli. Yang kutahu, aku menyesal. Sangat menyesal, dia tak memberiku waktu untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya. Bahkan kata maaf sajapun tak sempat kuucapkan. Dia pergi begitu saja, tenang, diam dan tentu saja tanpa ada tanda. Tepat hari ini, semuanya menyaksikan kepergiannya. Menangisi kepergiannya. Siswa – siswanya, guru – guru, bahkan satpam sekolah pun ikut terimbas kesedihan yang mendalam. Sekolah kami berduka.
****
Hari ini aku hampir terlambat karena aku bangun kesiangan. Jarak dari rumah ke sekolahku tidahklah jauh. Hanya beberapa meter dari rumah. Itulah sebabnya aku sering terlambat datang ke sekolah. Ini adalah tahun kedua aku bersekolah di salah satu SMA Negeri yang sama sekali tak kusukai. Alasan klise sih sebenarnya kenapa aku tak menyukai sekolah ini. Yang pertama tentu saja karena semua teman – teman SMP ku tidak ada yang masuk ke sekolah ini. Dan yang kedua adalah karena aku memang tak pernah ada niat untuk masuk ke sekolah ini dan sejuta alasan lagi kenapa aku tidak menyukai sekolah ini. Karena jarak dari rumah ke sekolahku tidak terlalu jauh, tiap hari aku menggunakan jasa angkutan umum yang ada di kotaku. Atau sering dikenal dengan sebutan Angkot. Seperti biasanya, aku sangat sering satu angkot dengan salah seorang guru di sekolahku. Dia adalah guru Matematika di sekolahku. Aku benci berhitung, oleh sebab itu aku juga membencinya. Dan satu alasan lagi kenapa aku semakin tidak menyukainya, karena dia sangat lembut mengajar. Hal itu dikarenakan tubuh bagian kanannya lumpuh. Dia terkena serangan stroke dua tahun terakhir yang menyebabkan dia tidak lagi fit mengajar seperti tahun - tahun sebelumnya. Bahkan untuk berbicara pun dia sangat sulit. Seperti anak SD belajar membaca. Oleh sebab itu, pelajaran matematika kudaulat sebagai pelajaran dimana aku bisa tidur sepuasnya di dalam kelas.
“Rudi, kamu kerjakan soal nomor dua” suaranya berhasil membangunkanku. Ku lirik dia yang sudah berada tepat di depanku. Tangan kirinya memegang spidol warna hitam yang bukan permanen yang diarahkan kepadaku.
“Apa Pak?” tanyaku sambil menutup mulut yang menguap. Semua teman sekelas ku menertawaiku. Dia hanya diam menatapku. Tatapan yang membuat ku menjadi salah tingkah.
“Kamu kerjakan soal nomor dua” menyodorkan kembali spidolnya ke arahku, dingin tanpa ekspresi.
“Tadi malam saya harus begadang menyelesaikan tugas bahasa Indonesia. Jadi saya mohon ke Bapak untuk tidak mengganggu tidur saya, terima kasih.” seperti biasa, aku punya sejuta alasan untuk tidak melakukan apa yang dimintanya.
“Heem, saya sudah sering dengar alasan kamu yang seperti itu. Sepertinya kamu harus memikirkan alasan yang baru untuk saya.” Dia tersenyum sangat tulus, aku bisa merasakan senyum itu. Senyum yang menghujam ulu hatiku. Mukaku memerah.
“Tahukah kau wahai muridku, kenapa saya menyuruhmu mengerjakan soal nomor dua tersebut?”
Aku masih diam. Kelas kini berhasil dia kuasai. Tenang dan diam. Hanya ada suara dia yang menggema ke seluruh isi kelas.
“Saya menyuruhmu karena saya tahu kau pasti bisa mengerjakannya. Kau anak yang tak pernah kenal putus asa. Disaat kau kehilangan arah untuk mencapai tujuanmu, kau selalu punya banyak cara untuk bisa mencapai apa yang kau inginkan. Tidakkah kau tau bahwa alasan yang baru saja kau katakan padaku merupakan salah satu contohnya?”
“Saya tidak suka matematika Pak. Apapun itu, saya benci berhitung.”
“Iya, saya tahu. Kamu memang benci berhitung. Namun bukan berarti kamu tak mampu untuk menyukainya. Jadikanlah rasa bencimu sebagai alasan kenapa kamu harus menaklukkannya. Karena pada hakikatnya, sesuatu yang sangat kau benci boleh jadi sesuatu yang akan sangat kau cintai. Jadi Nak, belajarlah untuk menyukai apa yang kau benci. Dan janganlah kau membenci sesuatu itu dengan berlebihan”
“Saya punya prinsip Pak. Dalam hidup saya, sekali saya membenci sesuatu, selamanya akan begitu. Jika Bapak meminta saya untuk menyukai apa yang saya benci, itu sama saja saya melanggar prinsip saya Pak. Jadi saya mohon Pak, jangan pernah lagi minta saya untuk mengerjakan soal Matematika”. Jawabku dengan senyum kecut di bibirku. ‘huh, Bapak sih gampang mengatakannya, lah saya sangat sulit untuk melaksanakannya’ pikirku dalam hati. Dia hanya tersenyum mendengar jawabanku dan menatapku dalam.
“Itu yang saya suka dari kamu. Kamu punya prinsip. Prinsip kamu bagus. Tapi Nak, terkadang kita harus merubah prinsip hidup kita untuk mengkondisikan keadaan kita dengan kehidupan nyata yang kita alami.” Jawaban yang sama sekali tidak kumengerti. “Baiklah, sampai disini dulu perdebatan kita pria hebat. Kamu silakan kembali tidur jika kamu mau, dan saya akan melanjutkan penjelasan pelajaran hari ini.” Aku ngedumel gak karuan ‘Bapak pikir Bapak siapa? Motivator? Haha tidak sama sekali. Tidak ada motivator yang ngomong secara terbata – bata seperti itu.’ pekikku dalam hati. Tak lama kemudian, bel tanda pelajaran usai pun bunyi. Aku segera keluar kelas untuk segera menyerbu kantin. Matematika selama 120 menit itu rasanya sangat menyiksa hingga ke ubun – ubun.
“Rudi, saya selalu menunggu waktu untuk masuk ke kelas ini. Karena di kelas ini, saya mempunyai seorang siswa yang hebat. Saya selalu tak sabar dengan alasan – alasan yang dia sebutkan tiap kali saya masuk ke kelas ini.” katanya sembari tersenyum kepadaku. Aku hanya bisa terdiam, memandanginya keluar kelas dengan khas pincangnya. Entahlah, kadang aku tak mengerti apa yang sebernarnya dia ingin katakan. Kenapa dia tak langsung saja ke inti permasalahan? Kenapa dia harus menggunakan kata – kata seperti seorang motivator ternama? Apakah akibat stroke yang dideritanya hingga membuat dia seperti ini? Haha terkadang hidup ini lucu. Aku sama sekali tak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Pak Hanif. Aku pergi melenggang ke kantin untuk berdamai dengan perutku yang sudah keroncongan.
***
Ini untuk yang kesekian kalinya aku dan Pak Hanif seangkot lagi. Seperti biasa, dia selalu duduk di kursi depan samping supir. Mungkin untuk memudahkannya turun dari angkot. Walaupun tujuan kami kesekolah yang sama, tapi aku tak pernah membantunya turun dari angkot. Dia selalu membuat penumpang lain resah karena menyita waktu mereka hanya untuk menunggu Pak Hanif turun dari angkot. Bahkan terkadang supirnya pun ikutan marah kepada Pak Hanif. Jujur, aku merasa kasihan sebenarnya, namun karena antara kami berdua telah terbangun penghalang yang kokoh, hal itu membuatku terbiasa untuk tidak pernah ikut campur apapun tentangnya. Aku tak pernah mau menuntunnya untuk menyebrang. Pak satpamlah yang dengan senang hati menuntunnya untuk menyebrang jalan menuju gerbang sekloah. Bagaimana bisa aku menuntun seorang guru yang menurutku sudah tak layak menjadi guru? Seharusnya dia pensiun muda saja dan fokus pada penyembuhan stroke yang membuatnya lumpuh sebelah tubuh. Terkadang aku tertawa sendiri melihat kenyataan hidup Pak Hanif. Bagiku itu sangat menyedihkan apalagi setiap hari dia harus menghadapi siswa yang berbeda karakter.
Sudah lebih dari tiga hari ini aku tidak se-angkot dengan dia. Baguslah pikirku. Karena tidak ada umpatan dari para penumpang dan supir angkot. Mungkin saja dia sudah tidak mau naik angkot lagi. Atau mungkin saja dia diantar oleh istri atau anaknya. Dan kemungkinan lainnya. Tepat hari ini, dia tidak masuk ke kelas kami untuk yang pertama kalinya. Karena bisa dikatakan dia adalah guru yang paling rajin dan disiplin. Penyakit yang dialaminya tidak melunturkan niatnya untuk tidak datang ke sekolah. Itu kabar baik untuk ku. Karena dengan ketidakhadirannya, aku bisa puas tidur ataupun makan di kantin.
“Selamat siang semua. Perhatian hari ini kegiatan belajar mengajar ditiadakan. Kalian boleh belajar kembali di rumah.” Terdengar suara staff pengajar yang melengking dengan microphone ditangannya. Ini merupakan pengumuman terbaik sepanjang masa. “Namun sebelum kalian pulang, bendahara kelas tolong mengutip uang kemalangan. Karena baru saja kita mendapat kabar bahwa salah satu guru terbaik kita yaitu Pak Hanif telah kembali kepangkuan Tuhan Yang Maha Esa, Terima kasih dan mohon kerjasamanya.” Tubuhku membeku. kucermati perlahan isi pengumuman tersebut. Logikaku berhenti sejenak. Darahku berdesir menyayat jantungku. Kupastikan kembali kebenaran pengumuman itu. Tanpa perlu waktu yang lama untuk memastikannya dan hasilnya nihil. Semuanya memang benar adanya. Rasanya bumi telah berhenti berputar. Aku lemas tak berdaya. Air mataku mengalir begitu saja. Tak menjerit dan tak pula meraung, aku hanya duduk terdiam. Semua temanku mersa iba kepadaku. Mereka membawa ku melayat jenazah Pak Hanif. Awalnya aku menolak, namun hatiku mengatakan bahwa aku harus bertemu dengannya. Aku harus mengucapkan selamat tinggal kepadanya untuk selamanya.
“Rudi, Pak Hanif sering cerita tentang kamu kepada saya” ungkap Pak Rahmad guru Agama di sekolahku setelah acara pemakaman selesai. Aku duduk di bawah pohon besar sekitar pemakaman untuk menenangkan diriku. “Beliau sering cerita tentang kenakalanmu di kelas yang terkadang membuatnya selalu penasaran.” Hening sejenak. Aku masih tidak ingin menjawab pernyataan Pak Rahmad. Bahkan bagiku Pak Rahmad kini hanya menggangguku saja. “Saat beliau melihatmu, beliau selalu punya semangat untuk mengajar. Dia sangat menyukaimu. Maka dari itu dia mengirimkan sebuah surat hanya untukmu.” Aku menoleh kepada Pak Rahmad. Kulihat ada sebuah surat yang tergenggam di tangan kanan Pak Rahmad. “Ini, ambillah, ini milikmu. Hanya kau yang boleh membacanya.” Pak Rahmad menyodorkan surat tersebut padaku. Aku masih terdiam. Tangan kananku cepat menerima surat tersebut. Pak Rahmad tersenyum dan berbalik badan pergi meninggalkanku sendirian membisu. Ku pandangi sejenak surat yang kini sudah berada di genggamanku. Tanpa menunggu waktu lama, ku buka surat yang masih rapi dalam amplop putih.

Teruntuk siswa terhebatku, Rudiansyah
Saat kau membaca surat ini, mungkin saya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Saya akan menjalani kehidupan selanjutnya di alam sana. Dan itu pasti.
Anakku Rudi, kau adalah siswa yang baik. Sikap nakalmu membuatku merasa bahwa saya masih kau anggap sebagai manusia biasa. Kau tak pernah merasa kasihan kepada saya, padahal kau sendiri tahu hampir tiap hari saya di umpat oleh penumpang dan supir angkot akibat lambannya gerakan saya. Dengan sikapmu yang seperti itu, saya merasa hidup kembali. Setidaknya kau tidak menunjukkan rasa kasihanmu di depan saya. Dengan begitu saya menjadi kuat untuk melewati setiap hari aktivitas saya di sekolah.
Rudi anakku, sikapmu yang keras kepala telah banyak mengajarkan saya bagaimana bersabar. Saya selalu menikmati tiap detik perdebatan kita saat pelajaran berlangsung. Berdebat denganmu sedikit banyak memberikan pelajaran bagi saya.
Rudi, tidak banyak yang saya bicarakan di dalam surat ini. Saya hanya ingin berterima kasih kepadamu anakku. Terima kasih atas semua perlakuanmu kepada saya. Sebagai guru, bolehkah saya memberikan nasihat kepadamu?

Ingatlah Rudi, dimanapun kau berada akan ada saja orang yang tak menyukaimu. Maka dari itu, berbuat baiklah terhadap sesamamu. Karena kebaikan tak akan pernah luntur sampai kapanpun. Dia akan tetap dikenang. Dan apapun yang membuatmu benci, cobalah untuk menerimanya. Belajarlah untuk menerima semua kekurangan tersebut. Jadikan kekurangan itu alasan kenapa kau harus menyukainya. Ingatlah Nak, sesuatu yang tak nampak itu terkadang lebih bermakna daripada yang tampak oleh mata. Maka dari itu, cobalah biarkan hatimu yang menilai. Karena hati tak pernah bisa berbohong.

Tertanda
Gurumu

Nafasku tercekat. Airmataku mengalir deras samar tertutupi oleh rintik air hujan. Kini aku baru menyadari bahwa aku memang sangat merindukannya. Aku rindu satu angkot dengannya. Aku rindu memperhatikannya di tuntun oleh Pak Satpam. Aku rindu gaya bicaranya yang khas. Aku rindu dengan kata – katanya yang selalu menyimpan teka – teki. Aku rindu motivasinya. Aku rindu dia tersenyum tulus padaku padahal aku mengupatnya dalam hati. Ya Tuhan, apa yang harus kuperbuat untuk membalas semua jasanya? Bagaimana aku bisa membalas surat ini untuknya? Dia sosok guru dengan segala kekurangnnya masih saja memikirkan profesionalitas. Dialah guru yang tak pernah marah akan sikapku yang keterlaluan. Dialah pembuka mata hatiku. Kini baru aku menyadari bahwa memang hanya dia guru yang ku idolakan. Disini aku berjanji aku akan menjadi anak yang baik, aku akan menjadi anak yang hebat seperti katamu. Aku akan belajar giat supaya aku bisa mencintai apa yang tidak kusuka. Akan ku balas semua jasamu wahai guruku. Kau memang pelita hatiku. Aku janji takkan pernah mengecewakanmu. Terima kasih atas semua perlakuanmu yang menyimpan seribu makna di dalamnya. Maaf atas segala sikapku yang keterlaluan. Selamat jalan guruku. Semoga Tuhan menempatkanmu di tempat yang paling Mulia disisiNya. Sekolah kami kehilangan sosok guru terbaik sepanjang masa. Tak pernah ada duplikat untuk dirinya. Dia tetap yang pertama dan utama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline