Lihat ke Halaman Asli

Rahayu Juwarini

Guru aktif di MTSN 1 Kediri

Satire Patung Istana Datang ke Samarinda

Diperbarui: 11 November 2021   19:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Miris rasanya ketika membaca di media adanya penolakan kehadiran wakil presiden bapak Ma'ruf Amin ke Samarinda dengan seruan aksi bertuliskan "Kaltim Berduka Patung Istana Datang ke Samarinda." Ada rasa aneh dalam diri ini membaca dan mendengar kebebasan ekspresi mahasiswa yang memilih kata" Patung Istana',  bagi bapak yang telah dipilih oleh rakyat sebagai wakil presiden dan disahkan oleh perundang-undangan yang berlaku.

Memang negara RI menjamin kebebasan  bagi warga negara untuk menyampaikan kritik dan saran kepada pemerintah. Seperti yang tercantum dalam pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yang berbunyi "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat". Kemudian dipertegas lagi dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998  pasal 1 ayat (1) "kemerdekaan menyampaikan pendapat pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku". 

Artinya  ada jaminan hukum bagi WNI untuk menyatakan pendapat dan berekspresi. Akan tetapi yang lebih penting di ingat adalah penyampaian pendapat tidak hanya bebas tetapi juga harus berada di koridor hukum dan bisa dipertanggung jawabkan secara moral dan hukum.

Tanggung jawab moral dalam menyampaikan pendapat sama pentingnya dengan tanggung jawab secara hukum. Karena dengan moral inilah kita bisa menjalani kehidupan secara selaras dan seimbang. Moral memberikan tuntunan bagi kita dalam bersikap dan berbuat di lingkungan masyarakat. Moral mengajarkan kepada manusia tentang baik dan buruk, boleh dan tidak boleh , sopan dan tidak sopan. Maka sepatutnyalah sebagai manusia pun sebagai warga negara kita juga harus memperhatikan dan menjalankan norma moral yang berlaku dalam masyarakat kita.

Penggunaan diksi "Patung Istana", bagi wakil presiden RI yang digunakan oleh BEM Universitas Mulawarman Samarinda, memang patut untuk disesalkan. Penyamaan wujud manusia dengan patung meskipun itu dalam kontek kritikan, secara moral sangat tidak patut. Karena sama artinya kita menghina Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Menyamakan kedudukan Tuhan dengan kedudukan manusia. 

Sedari kecil  kita telah diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua, berbicara sopan dan bertingkah sopan dihadapan mereka. Apalagi kepada orang tua yang telah berjasa kepada bangsa dan negara kita. Rasanya tidak patut kalau kita menyebutnya atau menulisnya dengan kata yang tidak sopan.

Mungkin ini pembelajaran bagi kita semua seluruh bangsa Indonesia terutama para mahasiswa yang masih tinggi idealismenya, untuk ingat bahwa jika tidak ada orang tua maka tidak ada kita. Dan sebenarnya ada banyak kata yang sopan, yang bisa dipilih untuk menyampaikan kekecewaan kita kepada pemerintah. Sehingga penyampaian kritik dan saran kepada pemerintah tetap pada koridor hukum dan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak menimbulkan kontroversi dalam masyarakat.

Wallahu a'lam bishawab 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline