Lihat ke Halaman Asli

172). "Belajar Mengoreksi Situasi yang Stagnan ala Cucak"

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

. .Semalam di acara majelis taklim, saya lihat si Cucak tepekur mendengarkan uraian ceramah dari ustad pembawanya. Kelamaan dia mulai menelengkan kepalanya ke jam dinding, terus pandangannya mengitari jemaah peserta majelis taklim lain yang kali ini tidak begitu banyak. Maklum baru ada dua minggu lalu mereka diundang ke sini dari biasanya sebulan sekali. . . Kepala Cucak tepekur kembali memperhatikan bahasan satu arah dari ustad pembicara itu. Peserta lain juga. Seperti si Cucak, satu dua dari mereka kembali memperhatikan posisi jam. Ah, ternyata mereka menunggu sudah waktunya beralih ke sessi tanya jawab. Saya perhatikan siCucak mulai kasak-kusuk dengan pikiran dan gerakan2 kecilnya. Alamat ada yang tidak beres mak nantinya. . . Benar juga, giliran tiba pada kesempatan tanya jawab yang waktunya sudah mepet, siCucak angkat tangan. Mau memberi tahu sesuatu, setelah sebelumnya dia perhatikan kesempatan ini belum ada yang mau menggunakannya. . . Bicara siCucak seperti biasanya agak gugup dan ngawur. Itu kalau di awal-awal, lalu ada sesuatu yang krusial mau dia sampaikan. Kira-kira seperti ini rekam jejak bicaranya. . . "Trima kasih atas kesempatannya. Mengingat waktu yang tinggal sedikit, saya tadinya mau bertanya sesuatu yang konteks dengan materi yang disampaikan, baiknya diurungkan saja. Ada hal penting lain yang saya minta diberikan petunjuk dari pak ustad." . . Wah, apa pula ini? Saya perhatikan beberapa peserta mulai bisik-bisik; kalau tak salah mereka coba memaklumi ini gilirannya sicucak membuat ulah kembali seperti biasa, yang sebagian besar dari mereka bakal tak mengerti. . . Saya lihat si Cucak masuk ke timing merasa pede dan menemukan bicaranya. Sudah dua kali dia tidak hadir di acara yang sama ini, jadi saya ingatkan janganlah sampai ketiga kali, hargai undangan orang; biar kamu tidak ngomong, Cucak. . . Saya pikir siCucak sepaham dengan sikap itu, bersedia menahan diri tidak bicara untuk memberikan kesempatannya ke lain peserta. Nah,kalau sampai dia mbalelo, artinya ada hal yang penting mau disampaikan. Terlebih suasananya sempat vakum karena tak ada yang mau angkat tangan. . . Nyaho kamu Telmi! Terus bicaranya siCucak bagaimana? . . O ya kembali ke laptop, tepatnya ke mike yang dikaraoke siCucak dengan kicauannya. Saya lihat benda itu diisyaratkan maju mundur dari mulutnya menggambarkan apa yang dia maksud. Coba saya teliti bicaranya? . . "Sejak di awal, kami tak begitu jelas apa yang disampaikan oleh bapak. Saya sempat kepikiran, masalahnya ada pada sound sistem mike yang kalau terlalu dekat, maaf; ke mulut bapak, suaranya jadi mendengung tidak jelas. Kira2 baiknya agak dijauhkan seperti ini." O itu ya yang tadi disandikan oleh gerakan tangan bolak balik si Cucak. Terus apalagi bicaranya? Kayaknya ada lagi yang lain. . . "Juga kalau saya simak di awal, hanya kurang jelas, bapak menyinggung bagusnya majelis taklim seperti ini jadi wahana untuk mendapatkan hidayah dari Allah melalui urug pendapat sesama. Yang itu tidak jalan lagi di beberapa masjid lain, syukur di sini terus berkelanjutan; demikian bapak memujinya." . . "Saya jadi berpikir ada apa dengan majelis taklim yang lain-lain itu. Menurut saya ada sesuatu yang perlu kita kritisi dengan membuat suasana di majelis taklim itu jadi hidup. Yakni kesempatan diberikan porsinya lebih banyak waktu untuk acara tanya jawab. Pada kesempatan itu, kita peserta jadi bersemangat karena merasa memiliki majelis ini dengan bertanya sesuatu yang dekat dengan kebutuhan dan kenyataan persoalan yang terjadi di sekitar kami. Jadi saya pikir kesempatan itu perlu ada dan diluangkan lebih besar. Dan saya pikir ke depan kita perlu memfasilitasinya. Tadi itu saya melihat waktu untuk itu tinggal sedikit, karena sudah lebih banyak digun......" . . Wah, itu berarti dia mau mengeritik porsi waktu yang sudah dimonopoli habis siUstad penceramah itu, yang saya lihat mulai gerah. Ck, ck berani-beraninya kamu Cucak dengan bicaranya yang serampangan ini. Tidak etis pikir saya. Kenapa itu tidak disampaikan tersendiri, tidak di hadapan majelis, yang nah mulai kasak kusuk dengan bisik-bisik 'tetangga'. Sejenak saya lihat siUstad agak cerah sedikit wajahnya sembari manggut-manggut, eh istilahnya apa mengangguk-angguk ya tepatnya, kepala itu? . . Terjadi sedikit perubahan, apa ya yang barusan dikata siCucak? . . "Nah, karena dua hal itu agak membingungkan harapan saya, melalui kesempatan bicara ini saya mohon petunjuk bapak kiranya bagaimana saya menyampaikan hal ini kepada bapak tanpa membuat bapak kurang berkenan?" . . "Dari tadi saya kesulitan, dan mungkin juga yang lain merasakan hal ini. Tapi seperti saya, mereka tidak menemukan caranya memberitahukan hal ini. Kira-kira bapak bisa membantu kami mendapatkan cara itu. Cara di mana kami bisa memberitahu dengan cara yang santun tanpa membuat orang yang kami beritahu sampai tersinggung. Sebelumnya maaf atas kelancangan saya. Maklumlah saya masih perlu belajar untuk hal yang satu ini. Kar....." . . Et, et, et, cukup sampai di situ Cak. Si Ustadnya sudah mengerti apa yang kamu maksudkan. Ntar dosisnya lebih dari yang dia bisa terima dengan baik. . . Saya cepat cepat menyetir mau-mau bicaranya si Cucak. Over dosis nanti. Saya lihat si Ustad penceramahnya sudah mengambil alih lalu agak sedikit senyum kecut memberikan jawaban. Dia bisa menerima baik. Sedikit berkilah, masalah pertama adalah soal sound sistemnya, jadi suaranya blunder kedengaran. Saran yang baik katanya. Juga soal waktu, masalahnya dia tak diberitahu sebelumnya berapa waktu yang tersedia untuk materi dan jatah untuk sessy tanya jawab. Serta blab bla bla lainnya. . . Blagu kamu Cak! Tak terhindar saya menjitak Cucak untuk urusannya yang satu ini. Usai dari acara tersebut, saya merasa perlu menemukan kesempatan ketemu bicara dengan Ustad tersebut, untuk meminta maaf atas kelancangan bicaranya siCucak. Beliau menyatakan memakluminya, serta merasa ini satu koreksi membangun bagi dia ke depan untuk memperbaiki hidupnya majelis-majelis taklim lain, di masjid-mesjid lain, di suasana-suasana lain. Dengan cucak-cucak lain, dengan cara-cara lain, dengan bicara-bicara lain, dengan mulut diam bicaranya nanti di tempat lain, kecucak-cucak lain, apa? . . Semoga saja bicaranya siCucak yang sedikit kelainan dan kelamaan itu menemukan substansinya di benak pikiran dan kedalaman pengertian mereka. Ya, saya memahami substansi bicaramu Cak, masih itu yang penting. Tapi saya pikir agak penting juga mikir bagaimana caranya mengartikulasikan substansi tersebut dengan baik dan santun. Ok, kita jelang kesempatan memperbaikipada waktunya nanti. Saya mulai ngantuk nih. Mau bobo dulu. Kamu kalau tidak mau tidur Cak, buka saja tuh warung, jaga sana. . . Selamat pagi semuanya, saya mau rehat sejenak. Terserah bisa dia, tiga empat jenak. . . (iDi Tmur Fajar)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline