Lihat ke Halaman Asli

139). Realiksi: "Catatan Ketelmian Di Kepala Botak Santri Anakku"

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_103179" align="aligncenter" width="300" caption="BAYANGKAN SAJA SEPERTI APA KEPALA ANAK INI BOTAK(google PLONTOS silence/kerjaan ketiadaan gambar ilustrasi)"][/caption]
. . Kemarin siang aku datang sendirian ke pesantren. Dari jauh terlihat Rey kepalanya plontos. Hm, ada apa ini? Rupanya terkabul juga keinginan kakaknya. Pernah, “Rey, coba sekali saja kepalamu dibotakin! Biar kenang-kenangan selesai dari sini.” seloroh kakaknya waktu itu ketika melihat santri lain ada beberapa yang diplontosin. Itu berarti dia harus buat dulu pelanggaran? Nah, apa karena ledek kakaknya, ulah satu pelanggaran, sekarang kepala anak itu harus menanggung akibatnya? Ck, ck.
. . Karena apa kutanya, dia cuma diam setengah segan. Ini PR buatku, aku tidak memaksa. Temannya juga tidak tahu atau tidak mau beritahu waktu kutanya selagi Rey ke surau.
. . Ba’da Ashar, tidak ada kegiatan ekstra seperti biasanya. Anak-anak dibuat rileks untuk kesiapan UN besok. Itu alasan Rey memintaku jangan dulu pulang menunggunya selesai shalat.
. . “Pa, tadi di surau ustad tanya papa marah tidak karena Rey dikasih botak.”
. . Aku sudah lama tidak ketemu ustad itu, ketemu bicara maksudnya. Sebentar biar saya sowan maklumkan kepada beliau tak perlu segan kalau saya marah. Eh, tunggu dulu. Tidak salah, apa? Mungkin yang dimaksud, Rey apa saya marahi kenapa sampai botak. Jadi bukan ustadnya. Dasar aku telmi
. . Jadi Rey jawab apa? Tidak, jawab Rey dalam bahasa Arab. Ke Ustadnya, bukan ke saya, mana saya bisa bahasa nyantri itu. Karena kehandalan pesabntren itu, buat apa saya marah dengan sistim sanksinya. Lagi pula marah apaan. Alasannya juga apa, saya belum tahu. Memang marahnya dikasih persekot duluan, apa? Itu ketika Rey mengajukan tanya: “Jadi papa tidak marah sama Rey?”
. . Tunggu ! Mataku tengah mengawasi seseorang yang baru duduk dekat seorang bocah kecil yang ketiduran pulas. Matanya celingak-linguk ke kanan kiri, bertatapan sekilas denganku; sebelum merebahkan badannya berhadapan, sambil satu tangannya diletakkan di kepala bocah itu. O ya lupa cerita, ada seorang bocah mungil tertidur polos di tengah lantai ruang besar masjid, ketika aku melangkah masuk, tempat di mana aku sekarang bersandar sambil menulis catatan ini usai shalat Dhohor tadi.
. . Terus: “Apa yang Rey bilang, papa marah?” Aku jadi punya peluang mengorek alasan kenapa dia dibotakin.
. . “Ada apa? Memang Rey pikir papa marah besar kalau mengaku kenapa sampai dikasih botak?” Mataku menatap teduh pandang keraguannya. Dia masih tetap diam.
. . “Soal nakal, berkelahi, atau pacaran? Atau apa, rasanya papa tidak bakal marah, kok?”
. . “Iya, Rey bilang saja kenapa sampai. . . , begini:. . .” Akhirnya dia mau bicara. Hm, sekali lagi aku bisa berperan cukup baik membuat siapa saja mau bicara apa adanya. Apalagi orang itu anak sendiri. Yang suka dibuat bicara lebih ke ikut apa mau senangnya mamanya, bukan apa yang sebenarnya.
. . Sebentar! Orang tadi itu, dari cuma rebahan, sekarang mulai bangkit sembari menyelusupkan tangannya ke bawah, meraup badan bocah yang tergolek itu. Tanganku berhenti sebentar menulis, memberikan kesempatan perhatianku yang terkesima menampaki apa yang akan dilakukan lelaki ‘tak dikenal’ itu. Keluarga bocah, apa?
. . Dia membopong anak itu, seperti terkulai lemas, berjalan melewati sedikit jauh di hadapanku, menuju pintu keluar masjid. Mulutku sempat ‘terlontar’: “Mau dibawa ke mana anaknya, pak?!”
. . “Ke situ !” Kepalanya memberi isyarat ke satu arah sambil terus berjalan keluar.

. . Eh maaf, catatan tentang botak kepala Rey kutunda, ya?
. . Perhatianku harus membuntuti ke mana jalannya lelaki dengan tindakannya yang mencurigakan itu. Kulihat orang tersebut berjalan sedikit buru-buru menuju ke jalan raya. Dengan satu tangan dia membuka kap penutup sebuah bentor(becak motor), lalu meletakkan gendongannya di jok duduk penumpang. Lalu ke belakang menaiki motornya mengendarai bentor itu menuju ke arah lain. Bukan ke arah yang yang katanya ‘ke situ’ tadi.
. . Kulihat ada polisi, juga pegawai dengan uniform hansip; tengah memasuki masjid untuk melakukan shalat susulan. Ingin kuselipkan kekhawatiran ini, tapi kesempatannya tak kugunakan dengan baik. Mereka sudah mengangkat takbir, shalat.
. . Ah, siapa tahu orang itu paman, tetangga, atau sedikitnya kenal dengan keluarga anak itu, hiburku sedikit tenang. Seandainya tidak, satu ketelmianku tidak sempat berbuat sesuatu menyelamatkan anak itu; seandainya dia itu diculik, pelakunya phedopilia.

. . Prihatin bin setress by : Fajrin (Di Timur Fajar)
. . NB : Sorry, cerita tentang botak kepala Rey lanjut nanti. Ini catatan ketelmian saya selagi melenakan setress di Masjid besar ba’da shalat Dhohor. Di situ, masih mending dari di Perpus: bisa dari berbaring, menerawang, bangun duduk menulis; berbaring lagi, bangun menulis, berbaring, menulis; berbaring, dan, se, te, rus, nya….




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline