(Kalau Tidak Tahu, Jadikan Saya Teman)
[caption id="attachment_99391" align="aligncenter" width="270" caption="eh, kami masih seRT telminya (google gambar)"][/caption]
. . Saya pernah bahkan kerap mengalami apa itu yang namanya bodoh, sebelum benar-benar bisa memintar-mintarkan diri. Eh, memang saya sudah pintar, apa? Belum juga, kalau di hadapan saya ada orang yang lebih pintar. Kepada mereka saya ingin belajar banyak. . . Lalu sekarang sudah pintar,belum? . . Itulah sedihnya. Saya rasanya belum mau beranjak lebih jauh dari situ kalau di belakang saya masih banyak orang bodoh. Biar saya masih bisa merasakan seperti apa orang dengan kebodohannya itu. . . Eh, cerita ini mau dibawa ke mana, ya? Jadi ngawur begini. Inilah kebodohan saya dalam menulis, sewaktu-waktu bisa menguap. Haap, nah ketangkap inti ceritanya. Fokus dulu ah. . . Begini, karena pernah bodoh, dan sekarang juga masih bodoh; saya orangnya suka simpatik kepada mereka yang telmi itu. Telah mikirlah, kalau belum tahu artinya. Nah, ini lagi satu kebodohan saya, tidak bisa 'membaca' orang lain kalau sudah tidak lagi setelmi saya. . . Saya pernah kasihan, dari sini cerita sedih itu dimulai: melihat ada orang(sejenis) saya yang dikatain, "Wah, seumur-umur baru kali ini dan baru kau ini yang tidak bisa kubuat mengerti urusan yang sepele ini!" Tinggal tunggu saja, sebentar lagi dia akan berbisik ke kanan dan ke kiri: "Wah bloonnya bukan main nggak ketulungan", atau lebih gawat lagi: "Waduuh, gobloknya minta ampun!" (untuk tidak mengatakan 'naudzu billah). . . Karena pernah ada di situ, di posisi itu, saya samperin tuh anak dan membawanya berlalu dari situ. Tak lupa permisi kepada mereka, dalam hati: "Nah anyak-anyak, saya pinjem dulu nih anak". . . Bagi saya, mampu membuat orang sebebal apa bisa mengerti urusan sesulit kayak apa, adalah satu tantangan yang mengharukan. Jadi saya langgar saja satu prinsip dan membuatnya setengah kebalik (jumpalitan, istilah teman saya): "Kalau orang lain tidak bisa, kenapa saya bisa?" . . Di sana, di balik bilik cara saya, kepada orang saya tadi, orang seRT saya maksudnya, saya sodorkan sebuah buku. Apa saya suruh dia membacanya? Tidak juga, karena boleh jadi orang itu buta huruf. Kalau buta aksara sih gampang. Saya suruh saja dia membuka kompasiana, kebetulan di sini ada yang lagi sediakan pabriknya. Pabrik aksara maksudnya, gituuh loh! (style Ustad Nur Maulana) . . Mencoba memahami, eh membuat orang semacam saya tadi yang tidak paham ke mana-mana, agar bisa memahami apa yang tidak bisa dia pahami, hanya semacam membuka lembaran buku tebal yang saya sodorkan itu. [caption id="attachment_99393" align="alignright" width="100" caption="Saya orang kecil, tapi sebesar O-O ini telmi saya. (goole gambar yang kekecilan)"][/caption]
. . Pertama, saya buka asal saja sebuah halaman dari buku itu untuk menjelaskan apa yang dia tidak mengerti. Misalkan kebuka halaman 101, jelaskan saja sebaik mungkin apa yang ada di situ, lalu perhatikan apa yang terjadi (style Mario Teguh). Kalau dia tidak paham, berarti saya undur lagi mulai dari kebuka halaman 76 misalnya. Tidak juga mengerti, undur lagi mulai dari halaman 23.
. . Boleh jadi seseorang tidak perlu kita jelaskan senaif halaman 101 tadi kalau orang itu pintarnya sudah lebih dari halaman tersebut. Nah orang itu bukan urusan saya dalam cerita ini. Saya mau kembali ke laptop. (style Tukul Rahwana, ups sorry Arwana) . . Nah orang tadi, yang tadi sebelum orang pintar itu, sudah di halaman 23 tetap tidak mengerti, yah apa boleh buat; undur saja ke bab pendahuluan, pengantar, latar belakang pengantar (hal iii, ii, i). Tidak bisa juga? Masak?? . . Tutup saja buku itu! Berarti buku kita tidak cukup tebal untuk orang 'sebebal'(sorry) itu. Kaciiaan deh lu. Maksudnya saya yang perlu dikasihani, tidak bisa-bisa mengertikan dia, alias tidak bisa apa-apa dengan kebodohan saya. . . Tapi masih terbuka cara lain. Saya tinggal membantu dia mencari penerbit buku yang tepat, buku yang tebal, yang lebih tebal dan gamblang dari buku saya. . . Cukup dulu sampai di sini, jadi kepanjangan dah ceritanya. Sembari berharap ada di antara pembaca yang bisa menunjukkan orang saya itu jalan/cara yang lurus ke alamat penerbit itu. Ataukah anda sendiri pemilik buku itu? . . By: Fajrin (si Fajar di lapaknya Rahayu Winette) . . NB : Wah, sebelumnya minta maaf, ya. Di atas itu, tuh judulnya: "Saya lebih suka dianggap orang telmi", maksudnya saya itu yang dianggap telmi, bukan orang anggap telmi. Eh, bukan, bukan; yang menganggap saya itu telmi, maksud saya bukan dia. . . Wah, kenapa kacau begini, walah, walah. Tolong deh anda betulkan saja. Ini lagi satu bentuk ketelmian saya, tidak bisa menyusun kata dengan baik. Wassalam ! . . Eh, satu lagi yang telat. Gara-gara telmi; postingan ini jadi telat ngeposnya. Biasanya masih pagi, ini sudah jam berapa? Sorry, ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H