Lihat ke Halaman Asli

88). Kebebasan Dalam Keter'buka-buka'an

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

. . .Dewasa ini topik 'sensual' tersebut sering mengundang debat. Hasilnya hampir dipastikan berakhir 'lakum dinukum' dari pihak yang pro kebebasan. "Bagimu caramu (hai kaum puritan/sok moralis!), bagi kami biarkan dengan hak dan cara kami, bebas terbuka semau kami. Kalau suka, bikin! Tidak suka, diam !"

. . . Kebebasan? Di era reformasi dengan euforianya, isyu ini sudah jauh mencari lahan tempatnya berpijak. Setiap orang menuntut hal itu ketika haknya untuk berekspresif, nota bene ingin berbuat apa saja kenapa sampai harus dibatasi. Jadinya, kenapa tidak boleh begini, kenapa tidak boleh begitu?

. . . Kebebasan? Siapapun inginkan itu. Kebebasan apa saja, tentunya termasuk bebas dari dampak buruk kebebasan itu sendiri. Seseorang dengan hak kebebasannya berpakaian tentunya inginkan kita hargai, tapi sulit menerimanya kalau caranya sudah melampaui batas. Buktinya? Kalau dengan kebebasan itu seseorang mau tampil bebas berbikini ria di ruang publik, di depan kita, di hadapan anak-anak kita, mereka yang moralnya perlu kita jaga dan selamatkan.

. . . Di tataran ini sering timbul debat, apa ukuran moral yang di pakai? Ukuran mana, apa. dan siapa yang kita pakai untuk membatasi tingkat kebebasan buka-bukaan seseorang. Adanya tanya itu saja sudah syukur! Tidakkah dengan itu berarti kita hanya perlu kata sepakat mencari dan menentukan batas itu. Dan bukan membiarkannya liar tanpa kompromi.

. . . Saya bukan penulis yang bisa dan baik merangkai secara sistematis semua argumentasi pro dan kontra seputar topik ini. Saya sendiri rasanya bukan termasuk di antara mereka yang ngotot dengan pakaian tertutup(ekstrim), atau di kelompok mereka yang berpakaiannya terbuka, tepatnya terbuka tanpa batas.

. . . Kalau begitu? Sikap saya adalah mencari solusi atau jalan tengah di antara: sayangkan kalau orang dipaksa harus tertutup tanpa batas dan diajak bebas, vulgar terbuka; tanpa batas pula.

. . . Tadi dibilang saya bukan penulis yang baik. Point-point pikiran saya terkadang hidup dalam realitas yang muncul di sekitar persoalan tersebut. Dengan kata lain saya enjoy mengulasnya point demi point pikiran yang timbul di seputar isyu kebebasan buka-bukaan. Karena aturan penulisan membatasi pengembangan materi sampai pada dipublishnya sebuah postingan, maka pikiran tentang hal tersebut akan saya tambah, tumbuh dan kembangkan dalam kolom komentar.

. . . Ok, point yang sempat saya tangkap dan angkat antara lain baru sebagai berikut:

01# Ada yang berpendirian: baginya seseorang pakai jilbab atau tidak pakai jilbab bahkan cara berpakaiannya se'sexy' mungkin, itu hak asasi setiap orang. Masalah siapa yang lebih saleh di hadapan Tuhan tidak ditentukan dari bajunya, melainkan isi hatinya. Tuhan melihat hati bukan pakaian.

. . RW* Saya sih sependapat dengannya, bahwa Tuhan tidak tertutup oleh pakaian, tapi bisa langsung membaca hati seseorang. Misalnya dengan tanpa berpakaian seseorang berniat maksiat atau tak sadar membuat orang lain berpikir maksiat melihat montok tubuhnya yang tanpa pakaian. Tuhan bisa membaca itu.

Sayangnya kita tidak bisa 'membaca' itu. Kita butuh pakaian untuk membaca seseorang beretika atau tidak, tanpa pakaian kita sulit membacanya dengan baik

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline