Pakar keamanan siber CISSReC Pratama Persadha mengatakan potensi kebocoran data di Indonesia masih sangat tinggi karena kesadaran keamanan siber masih rendah.
Menurut Pratama, tren kebocoran data di Indonesia sudah ada sejak pandemi Covid-19 pada 2020, meski kebocoran data sendiri sudah terjadi sejak lama.
Menurutnya, budaya bekerja dari rumah (WFH) di masa pandemi meningkatkan risiko kebocoran data.
Anomali traffic di Indonesia meningkat 800 juta pada tahun 2020 menjadi 1,6 miliar pada tahun 2021, menurut Badan Siber dan Kriptografi Nasional (BSSN).
Selain itu, WFH juga meningkatkan risiko kebocoran data, karena banyak akses ke sistem kantor perusahaan publik dan swasta dari rumah atau lokasi lain yang jauh dari kantor.
Bahaya ini juga diperparah dengan minimnya keamanan siber di sistem informasi sebagian besar institusi negara.
Pentingnya UU PDP
Selain itu, menurut Pratama, semua pihak bisa menjadi sasaran peretasan dan pencurian data baik melalui aktivitas offline maupun online.
Undang-undang PDP yang disahkan sebelumnya "memaksa" PSE untuk mematuhi standar teknologi, sumber daya manusia, dan manajemen keamanan secara retrospektif saat mengelola data pribadi.
Sebelumnya, ada dugaan kebocoran data pelanggan Indihome dan PLN. Jutaan data itu diyakini berisi informasi tentang nasabah dua perusahaan pelat merah yang berdagang di forum hacker.