Lihat ke Halaman Asli

I La Galigo dan Sindiran Kepada SBY

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13030170042096446309

[caption id="attachment_101206" align="aligncenter" width="630" caption="Salinan Sureq Galigo"][/caption] Dalam tulisan tentang Kepulangan I La Galigo sebelumnya, seseorang sempat bertanya adakah buku lengkap yang menceritakan kisah I La Galigo. Saya jawab ada, walau tidak yakin siapa penerbitnya dan juga penulisnya, saya mendengar dari beberapa orang jika buku itu memang ada. Kemarin, saya menyempatkan diri melihat persiapan pementasan I La Galigo di Benteng Rotterdam Makassar yang akan action 22 hingga 24 April mendatang. Tak disangka, seseorang menyedorkan sebuah buku berjudul Tiga dari Galigo karya almarhum Drs H Muhammad Salim yang berpulang ketika buku tersebut naik cetak. Pria berbadan besar yang hampir separuh wajahnya ditumbuhi bulu mengaku buku yang ia berikan itu edisi terbatas. "Hanya 2.500 yang dicetak khusus untuk pementasan ini," katanya sambil menunjuk sebuah panggung besar di tengah taman dalam benteng. Bahagia rasanya bisa memegang buku dalam jumlah terbatas itu. Tak ingin membuang waktu, setelah bicara panjang lebar dengan pria bercambang itu, saya lantas mencari tempat untuk membacanya. Nampaknya enak kalau sore hari duduk-duduk di cafe sambil meneguk secangkir kopi dan gorengan hangat ditemani sebuah buku baru berisi 107 halaman yang cover depannya dibumbui tulisan lontara kuno. Dari tiga pembahasan yang diambil dalam Sureq Galigo yang termaktub dalam buku yang dibuka oleh selembar kata sambutan dari Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin itu, pembahasan kedua menurut saya wajib di baca oleh pemerintah saat ini, khususnya buat Presiden kita tercinta Susilo Bambang Yudiono yang menjadi raja di istana kemerdekaan Indonesia. Pembahasan perjudul Nilai-nilai Pengembaraan Sawerigading yang Termaktub Dalam Sureq Galigo tersebut menggambarkan bagaimana Sawerigading, anak Batara  Lettu dan Datu Sengngeng yang menjadi penguasa Kerajaan Bumi waktu itu dan bersaudara kembar emas dengan We Ternriabeng, bisa menjalankan pemerintahan dengan bijak dan disukai masyarakatnya bahkan selalu didoakan agar tetap menjadi penguasa bumi karena kederwamanannya. Muhammad Salim yang telah berhasil menerjemahkan naskah I La Galigo tiga jilid dari 6.000 jilid naskah yang telah ditetapkan oleh Unesco sebagai salah satu Memory Of the World (MOW) atau warisan budaya dunia dan merupakan epos terpanjang di dunia bisa 'menyindir' pemerintah saat ini dengan kehidupan dan cara kerja Sawerigading dalam memimpin rakyatnya. Pada halaman 66 dan 67, Salim menerjemahkan unsur kepemimpinan Sawerigading dalam memimpin perang. Kala itu perang Posi Tana terjadi dan pasukan Sawerigading terdesak mundur. Singkat cerita, Sawerigading yang saat itu dalam tanduh memilih turun untuk memimpin langsung perang karena melihat pasukannya yang banyak tewas oleh serangan musuh. Kutipan kata-kata Saweigading kepada sepupu dan pasukannya :

"Kasihanilah aku dahulu, engkau saja yang gantikanku dinaungi payung emas manurung ku. Aku sajalah yang berdiri mengayungkan perisai, memimpin anak raja menyerang, dan engkau melihatku bertarung dengan manurunnge itu. Apakah aku yang gugur di medan perang ataukah kelak bertambah rombongan di gelanggang yang ramai di Aleluwuk, di Tompo Tikka"

Suatu ketika pula, Sawerigading ingin mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan  kakaknya dan rakyatnya yang tercebur kedalam laut luas. Namun dicegah oleh pasukannya karena akan menjadi kematian besar bagi pengikutnya yang lain yang juga akan mengikuti jejaknya menceburkan diri ke laut mencari kakak-nya dan rakyatnya. Ini menggambarkan jika Sawerigading adalah sosok pemimpin teladan yang banyak orang rela mati untuk menjadi pengikutnya. Walau tentu saat ini kita tidak bisa mencontoh dan mengikutinya lagi seperti dulu. Cukup mengambil sebahagian hikmah dari kisah yang ia torehkan dalam Sureq Galigo atau naskah I La Galigo. Saya tidak bisa memaksakan kehendak untuk pemimpin negeri ini menjadi seperti Sawerigading, tetapi setidaknya bisa mengambil hikmah dari kisah hidupnya. Harapan cukup besar pula bagi 10 menteri yang di jadwalkan akan hadir menyaksikan pementasan ini di Makassar beserta Wakil Presiden RI, Budiono dan 16 duta besar untuk Indonesia lainnya yang menjadi tamu VVIP. Saya tertarik dengan ungkapan Tohoh Adat Luwu sekaligus Budayawan Sulsel, Andi Anton Pangeran yang meminta pementasan ini tidak hanya melihat unsur lekukan tubuh dan ritme suara semata. Tetapi bisa mengambil hikmah dan pelajaran mendalam dari epos yang ia sebut adalah pusat Austranesia atau rumpun bahasa yang penyebarannya sangat luas bahkan meliputi Pulau Fermosa, kepulauan nusantara termasuk Filipina, mikronesia, Malanesia, Polinesia dan pulau Madagaskar. Sebagai penutup, harapan yang sama yang diucapkan oleh Andi Anton Pangeran bisa membekali setiap tamu yang undangannya seharga Rp250.000 itu. Dan satu syair dalam Sureq Galigo yang telah di terjemahkan semoga bisa menjadi renungan buat kita semua.

"Dengarlah wahai anak Raja, syair ku

Dewalah yang menciptakan kehendak manusia

Dewa yang menciptakan cinta kasih

Dewa juga yang menciptakan saling mencinta dalam perasaan.

Dibawakan : Jammuricina (naskah 188. VI. 172)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline