Partai politik modern dengan segala polah tingkahnya, tidak luput dari paparan perilaku budaya popular sebagai dampak kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Cancel culture atau istilah lain menyebutnya dengan call-out culture, sebagian mengartikannya sebagai budaya pengenyahan, budaya penolakan, atau boikot massal.
Cancel culture, sebuah fenomena yang awalnya masyhur dalam ranah media sosial terutama di platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok, telah menjadi istilah yang semakin sering dibicarakan dalam konteks yang lebih luas, termasuk politik.
Istilah ini merujuk pada praktik memboikot atau "membatalkan" individu atau kelompok yang dianggap telah melakukan kesalahan, baik secara moral, sosial, atau politik.
Termasuk, disalahkan atas kejadian yang (mungkin) tidak pernah dilakukannya sama sekali.
Namun, ketika cancel culture merambah ke dalam tubuh partai politik, ia mengambil bentuk yang lebih kompleks: faksionalisme.
Keberadaan faksi-faksi atau kelompok di setiap internal parpol, juga dikonfirmasi oleh pidato Presiden Prabowo saat acara HUT ke-60 Partai Golkar, 12 Desember 2024.
Menurut Prabowo, faksionalisme merupakan hal yang biasa, sepanjang setiap kepentingan kubu di internal partai terakomodasi dengan baik.
Faksionalisme dalam partai politik--usianya lebih tua dari cancel culture--di mana kelompok internal saling bersaing untuk dominasi, sering kali menggunakan taktik cancel culture untuk menghilangkan pengaruh kelompok lain.
Artikel ini akan mengulas bagaimana cancel culture menjadi alat dalam faksionalisme politik dan dampaknya bagi perilaku demokratik di dalam tubuh partai politik.