Usianya baru saja genap 28 tahun saat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi Tentara Republik Indonesia (TRI), yang memelihara keamanan wilayah teritori Jawa Barat.
Abdul Haris Nasution, pemuda berpangkat Kolonel yang enggan menerima ultimatum dari pasukan Sekutu. Walau hanya sejengkal tanah, pantang baginya menyerahkan Bandung tanpa perlawanan yang berarti.
Sedikit berbeda dengan keputusan politik dari Perdana Menteri Sutan Syahrir, justru memberikan perintah untuk menerima ultimatum Sekutu, dan segera tinggalkan Bandung.
Perintah Syahrir sebagai Perdana Menteri harus tetap ditaati. Tetapi AH Nasution bukan prajurit sembarangan. Alumnus KNIL itu kemudian mengambil sikap yang kelak akan dikenang sepanjang sejarah Republik.
Tanggal 23 Maret 1946, digelar vergadering atau semacam rapat umum Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan, yang dilakukan di depan seluruh kekuatan perjuangan dan laskar-laskar rakyat di Bandung.
Keputusannya: Evakuasi dan bumihangus Kota Bandung.
AH Nasution dan seluruh orang Indonesia lainnya keluar dari Bandung, seperti perintah Syahrir tapi dengan membakar kota yang ditinggalkannya itu. Tentara Inggris dan Sekutu tidak boleh mengambil manfaat apapun dari kota Bandung, selain api dan puing-puing.
AH Nasution menggambarkan kisah heroik tersebut dalam dua bukunya yang bertajuk "Sekitar Perang Kemerdekaan" (Jilid 1, 1977) dan "Memenuhi Panggilan Tugas" (Jilid 1, 1982).
Dua ratus ribu penduduk kota Paris van Java bersama sekira dua puluh ribu pejuang lainnya bergerak dalam skala besar menuju pegunungan di bagian selatan.